Pernahkah
kamu mengingatnya? Apa saja yang sudah terjadi di hidupmu?
Saat
ini aku ingin mengingatnya.
Dulu,
sewaktu TK, aku dan anak-anak TK lainnya, -aku tidak menyebutnya teman, karena
aku betul-betul tidak ingat apakah aku punya teman ketika itu-, selalu
mengantre untuk main ayunan bergantian. Ayunan memang selalu jadi mainan
favorit kami. Rasanya seperti melayang. Di lain waktu, suatu hari sepupuku
sudah pulang sedangkan aku masih menunggu ayah menjemputku. Mungkin karena
bosan, saat itu aku bermain perosotan. Perosotan itu terbuat dari besi. Entah bermula
darimana, tapi ketika aku sadar, kakiku sudah terjebak di celah antara pegangan besi dan alas perosotan. Saat itu posisiku sudah setengah jalan merosot. Tak pelak, tanganku
berpegangan pada pegangan perosotan, menahan agar tubuhku tidak merosot semakin
bawah, karena jika itu terjadi, otot kakiku akan tertarik dan rasanya akan
sangat sakit.
Di lain
waktu, aku dan sepupuku pulang sekolah TK dan kami akan pulang ke rumah Mbah. Sebelum
ke rumah Mbah, kami membeli mainan ‘baju-bajuan'. Saat itu tahun 1999 atau 2000, dan kami membelinya seharga
Rp.1000,00. Aku dan sepupuku kemudian memainkannya di rumah Mbah. Ketika ayah datang
menjemputku, beliau tidak habis pikir kenapa kami membeli mainan itu, terlebih
dengan sejumlah uang yang seharusnya bisa membeli satu porsi makan besar untuk
ukuran anak TK.
Tebak
apa yang terjadi.
Esoknya
aku tidak sekolah lagi. Tidak, hingga akhirnya aku masuk kelas 1 SD. Sampai
saat ini, hanya aku yang tidak punya foto selama TK. Tak apa, aku tak merasa
aku kekurangan hanya karena tak lulus TK.
Memasuki
kehidupan SD, setiap tahun rasanya punya momennya sendiri-sendiri.
Kelas
1 SD, aku ingat aku pernah bermain di area tiang bendera. Ingin makan, tapi
uang jajanku habis. Ketika itu kakaku menghampiriku, memberiku uang beberapa
ratus rupiah sehingga aku bisa jajan kembali. Sungguh, dialah pahlawanku saat
itu, dan tak perlu diragukan lagi betapa sayangnya aku padanya.
Kelas
2 SD, ketika tes perkalian, tanganku selalu di belakang badan. Aku tak begitu
hafal perkalian, tapi aku mampu berhitung. Jadi, ketika tes perkalian, jariku
di belakang menghitung penjumlahan berkali-kali. Toh, perkalian adalah
penjumlahan berulang kan? Ketika tahun kelas 2 SD pula, temanku terdorong ke arah
papan tulis, kemudian pelipisnya berdarah terkena paku. Rasanya ngilu
melihatnya.
Kelas
3 SD, saat kami mulai belajar Bahasa Arab dan Kemuhammadiyahan, murid kelas A
dan B seringkali harus digabung dalam satu kelas. Rasanya sesak karena terlalu
banyak orang dalam satu ruangan. Tapi rasanya kelas 3 SD kami sudah mulai berteman
baik dan sering main Bersama di depan kelas. Bermain galah ulung dan galah
asin.
Kelas
4 SD, kami mulai mengikuti pramuka. Hari pertama pramuka diawali dengan
menyanyikan lagu Peterpan di kelas, Ada Apa Denganmu. Saat itu aku benar-benar
clueless. Maklum, aku adalah anak rumahan yang jarang sekali mendengarkan
lagu-lagu. Entah saat itu aku bermain apa saja. Saat pramuka, aku baru mengerti
tata cara PBB setelah terpilih menjadi anggota PU, Pasukan Umum. Selama pramuka
juga, aku sama sekali tidak mengerti semaphore. Suatu ketika, Pembina pramuka
hanya memperbolehkan kami pulang jika berhasil menebak sandi semaphore yang ia
peragakan. Adikku sudah menunggu di pintu (pintunya terbuka), tapi aku masih
belum berhasil menebak. Sampai akhirnya di percobaan terakhir, aku masih gagal
dan pembina pun mengijinkan kami pulang karena sudah terlalu siang. Kata yang
seharusnya kami tebak adalah, “Fadi”, nama adikku. Sepanjang jalan pulang,
karena kami searah jalan pulang, kakak pembina menggodaku terus-menerus karena
gagal menebak nama adikku sendiri.
Kelas
5 SD, aku ingat sekali ketika pelajaran Pendidikan Agama Islam dan belajar
gerakan sholat, kakiku rasanya sakit sekali jika sedang duduk tahiyat. Kentara
sekali dulu aku jarang sholat. Kelas 4 ini, kami sudah terbiasa dengan jadwal
piket. Bagi kami, jadwal piket bukan sekadar menyapu dan mengepel, tapi juga
menangani pembuangan air yang mampet. Aku berumur 9 tahun, dan rasanya sangat
tidak jijik ketika tanganku membersihkan penutup lubang dari kotoran semacam
kertas kotor basah ataupun sampah lainnya.
Kelas
6 SD, kelas kami ada di gedung baru yang bahkan belum jadi seutuhnya. Aku dan teman-temanku
seringkali naik ke lantai dua tak beratap, kemudian duduk di pinggir bangunan.
Kaki kami mengayun merasakan angina, seolah duduk di atap gedung sekolah seperti
sekolah-sekolah di Jepang. Aku ingat ketika hari Ujian Akhir Sekolah, kami
disana menghafal nama-nama Pahlawan Revolusi. Ada sepuluh orang. Hari itu ujian
IPS, dan salah satu essaynya tepat tentang menyebutkan nama-nama Pahlawan
Revolusi. Saat itu, aku tulis seluruh nama lengkap kesepuluh orang itu. Bahagia
sekali rasanya.
Tak
terasa, tulisan ini jadi panjang sekali. Masih banyak momen SD yang sangat
berkesan, mungkin lain kali akan kuceritakan lagi ya. Bye
#740kata
0 comments