Berbuat baik pada orang juga harus memperhatikan perasaannya.
Quote itu aku dapatkan dari sebuah video di feeds IG. Hmm, common sense banget ya? Tapi sayang, implementasinya sungguh kompleks dan tidak semudah itu.
Pernah dengar positive toxicity? (Kalau belum, silakan googling ya). Positive toxicity ini sebetulnya ada karena pada dasarnya cara kita menyampaikan apa yang kita pikirkan, tidak sesuai situasi & kondisi.
Jadi, penting ya, buat peka dan bisa membaca situasi.
Walaupun temanku pernah bilang, semua kasus psikologi makin aneh karena memang manusia jauh dari agama dan semakin banyak maunya. Oke, mungkin iya juga? Peradaban semakin canggih, hidup semakin kompleks, manusia semakin banyak maunya, tapi agama semakin ditinggalkan. Hmm.
Di hidup ini, salah satu cara bertahan hidup adalah saling membantu satu sama lain. Tapi, niat baik harus dieksekusi dengan baik juga.
Been there, ketika aku ingin menyemangati orang lain, tapi jatuhnya jadi annoying karena seolah-olah sedang menghakimi. Been there, ketika ingin disemangati atau hanya didengar, tapi merasa dihakimi.
Manusia memang kompleks. Kita memang rumit. Makanya jangan suka cari masalah. Menempatkan diri menjadi orang baik dengan membuat orang lain menjadi jahat atau setidaknya seolah lemah sekali.
Setiap manusia dewasa, aku yakin tahu mana yang salah mana yang benar. Walaupun kadang kita masih perlu diingatkan, tapi sejatinya kita tahu, cuma ego aja.
Memang kembali lagi ke pribadi yang akan dibantu. Setiap orang punya karakter berbeda, jadi perlakuannya pun berbeda. Lagi-lagi, harus peka dan pintar baca situasi, supaya bisa menemukan metode yang tepat untuk membantu orang tersebut. Win-win solution lah istilahnya. Sama sama enak.
Gimana caranya? Ya tempatkan diri jadi orang yang akan dibantu. Kuncinya adalah mau melihat dari sisi kedua pihak.
Jadi, ayo peka dan mencoba membaca situasi. Aku pun masih belajar 😁
Tema : Mengarang
Kondisi keluarga mereka berkebalikan dengan kondisi keluarga dalam kaleng Khong Guan. Ani merindukan ibunya, meski yang nyata ada hanyalah Budi. Praktis Budi harus berlakon multi peran, sebagai full-time daddy dan part-time mommy.
***
Budi memandangi album foto. Wajah polos anaknya sungguh menggemaskan. Ah, betapa rindunya Budi akan waktu itu. Ketika rumah masih hangat-hangatnya. Tidak seperti saat ini. Hanya cicak yang bersuara.
Sesekali Budi mengecek telepon genggamnya. Berharap ada panggilan yang datang.
***
Di Korea, Ani masih betah dengan laptopnya. Frustasi karena hasil kerjanya tak bisa dicompile, Ani memilih pergi ke pantry. Kerongkongannya minta diisi.
Sambil menyeruput kopi, ia iseng melihat liontinnya. Memandangi wajah dalam foto di dalam sana. Ayahnya. Ah, sungguh ia rindu.
Usai tegukan terakhir, Ani bergegas menuju telpon umum di kantornya. Menggesek kartu dan memencet angka-angka yang akan mendatangkan suara ayahnya. Tapi suara ayahnya tak kunjung terdengar.
Gagal.
Ani mengutuki dirinya sendiri. Rindu ini harus ditangguhkan lagi. Di dompetnya hanya tersisa beberapa won. Baru lusa gajinya jatuh tempo, pun perutnya masih perlu diisi. Sial, kenapa ia lupa belum top up.
Memulai tanpa rencana
Tidak memulai tapi sudah terjebak
Tanda tangan perjanjian untuk kemudian melupakan
Memulai tanpa pilihan
Tapi harus selalu memilih dalam keberjalanannya
Jadi, akhir seperti apa yang kau harapkan?
Hari ini sungguh menakjubkan. Really! Dan aku ingin mengakhirinya dengan indah juga, dengan menuangkan yang kupikirkan.
Jadi, temanku pernah mengangkat isu "lepas jilbab", tapi nggak aku waro bener-bener hehe. Kemudian magrib tadi aku takjub sendiri lihat di twitter ada yang bahas. Apakah emang isu ini lagi hot ya? Kemudian aku jadi googling sendiri tentang isu ini. Hanya sedikit sih, mencoba memahami.
Hasil googling minimku, para wanita ini tidak menemukan alasan 'logis' kenapa mereka harus berjilbab. Tambah lagi, di Indonesia, wanita itu kasian. Aslinya deh. Semua hal diomongin, dijulidin! Ya walaupun cowok juga, tapi frekuensinya berbeda. Gimana ya, mau dibilang udah jadi qadar Allah, ya bener sih. Tapi tapi ...
Aku pernah berpikir "dulu gimana rasanya ya keluar rumah nggak pake kerudung?". Aku juga banyak mempertanyakan hal-hal aneh tentang banyak hal, termasuk agama, bahkan dengan kondisi aku ngaji sejak cabe rawit, yang mana itu adalah sejak sekitar umur 5 tahun = kira kira 20 tahun yang lalu.
Dulu, lihat orang boncengan aja aku julid (apalagi awal-awal baligh). Well, menegur itu perlu, supaya nggak ndayus, tapi cara menegurnya juga nggak kalah penting kan ya.
Saat ini, ada juga temanku yang lepas jilbab. Ada juga yang yah, aku tahu lah peraturan apa aja yang mereka (dan aku) langgar. Manusia tempatnya salah dan dosa kan? 'Tinggal' gimana kita kembali pada Allah.
Kalo ngomongin dosa, siapa manusia di dunia ini yang nggak punya dosa? Kullu ibni adam khoththo un. Dan memang sudah tugas kita saling mengingatkan. Tapi, cara ngingetinnya juga hati-hati ya Mas, Mbak, Pak, Bu, Dek.
Pernah mikir nggak sih, kenapa kita sebagai negara yang penduduk muslimnya terbanyak, tapi isu-isu agama Islam digoreng terus-terusan?
Menurutku karena kita hanya modal ilmu, tapi pengamalannya masih jauh. Sampe pernah ada nasehat, "Jangan sampai ilmunya udah sampe Mekkah, tapi amalannya masih di Sayati".
Betul Nabi itu memerangi orang kafir Quraisy. Tapi Nabi juga suri tauladan. Jangan sampai kita mencak-mencak mengkritisi orang lain, tapi tidak bisa memberi contoh yang baik. Tidak memberi solusi atau jawaban yang tepat.
Nabi tidak seperti itu. Nabi memerangi, tapi Nabi juga adalah sebaik-baiknya manusia yang berbuat baik pada sesamanya.
Manusia itu filsuf. Sangat naluriah kita bertanya akan segala hal. Meskipun betul ada hal-hal yang tidak bisa dijelaskan dengan ilmu eksakta, seperti kasus Isra' Mi'raj. Tapi tidak semua hal tidak memiliki penjabaran secara nalar. Hal yang tidak masuk secara nalar pun, kalau dijabarkan dengan baik, insya Allah, Allah paring hati orang tersebut diberi kelapangan.
Jangan hanya menghakimi, tapi juga harus ada ketika mereka bertanya. Berpikirlah, dan beri mereka jawaban yang tepat. Bantu dia 'menemukan' Allah, doakan dia. Aku pernah mengutarakan, "Islam di Indonesia ini, kita saklek dalam aturan, tapi tidak saklek mengikuti sunnah Nabi untuk berbudi yang baik".
Jadilah muslim tempat bertanya yang baik untuk semua orang yang bertanya tentang Islam dan Allah. Jadilah gambaran Islam sesungguhnya yang membuat orang lain melihat indahnya Islam. Ikuti Quran dan Hadits, bukan hanya ilmunya, tapi juga amalannya.
Jadilah perantara orang lain menemukan Allah. Jangan jadi perantara orang lain menjauh dari Allah.
Kemarin, aku nimbrung obrolan ayah dan ami. Sampai di suatu topik ketika ada pekerja bangunan yang digaji 80k untuk 8 jam kerja. Jadi, secara tidak langsung, pekerja-pekerja ini dipaksa lembur agar bisa menghasilkan uang yang lebih banyak. Rasanya langsung 'deg'.
Terus langsung membandingkan sama diri sendiri, yang syukur alhamdulillah punya penghasilan yang lebih dari cukup. Langsung tertohok dan merasa kesindir. Jadi bersyukur sedalam-dalamnya.
Tapi kemudian merasa kesepet lagi. Jadi, harus liat orang lain merana dulu, biar diri sendiri bisa bersyukur? Kenapa?
Dulu sempet baca juga opini seseorang yang intinya bersyukur itu harusnya dari dalam diri sendiri. Bukan karena melihat orang susah jadi kemudian bersyukur.
Terus jadi pergolakan hati. Iya, kenapa ya sesulit itu mencari jalannya syukur? Kenapa jahat sih, lihat susahnya orang lain dulu, buat mensyukuri hidup sendiri. Tapi kan kita nggak bisa merasakan spesialnya senang, kalau nggak tahu artinya sedih?
Kenapa nggak boleh ngelihat orang lain dulu buat bersyukur, siapa tahu memang itu pesan dari Allah. Aku dulu pernah mengutarakan, "Bagi Allah membuat kita jadi sama itu mudah, banget banget banget. Lantas kenapa Allah membuat kita berbeda? Ya pasti karena Allah sudah mengqadarkan sesuatu kan?".
Lantas, kenapa kita nggak boleh belajar dari perbedaan itu? Walaupun aku pun yakin, dari sisi kemanusiaan, jahat sekali menggunakan kesulitan orang lain untuk menemukan kesenangan diri sendiri.
Ah, kenapa perihal bersyukur pun sebegini sulitnya?
Kuat Fer, kuat
Kalimat itu selalu aku ucapkan sebagai upaya untuk merasa lebih baik. Kalimat yang juga aku ucapkan untuk berusaha membantu menguatkan orang lain, walaupun mungkin tidak semua orang bisa dikuatkan seperti itu.
Kuat adalah kata magis untukku. Bekal dari ayah ketika aku harus menghadapi ejekan-ejekan anak satu sekolahan. Ayah bilang kurang lebih, "Fera ayo kuat. Kalau ada yang nakalin, lawan aja".
Sejak saat itu, kalau ada yang ngeliatin dengan gestur mengejek, aku akan teriak, "apa liat liat?", bahkan kalau orangnya anak SMP (dulu SD dan SMP Muhammadiyah lokasinya ada di satu kompleks).
Sejak saat itu, aku berani marah-marah, membela diri sendiri. Galak. Banget, untuk ukuran anak SD. Suatu hari di kelas 5 atau 6, aku bahkan bertengkar dengan teman laki-laki sekelas, yang berujung dia nangis.
Dewasa ini, kuat tetap menjadi kata magis. Mengucapkannya membuatku merasa punya kekuatan untuk tetap bertahan. Mengucapkannya membuatku cukup yakin bisa melalui apapun yang akan terjadi. Badai akhirnya akan berlalu, kan.
Kalimat di atas juga menjadi pelipur lara ketika semuanya terasa sesak dan sempit. Setelah mengucapkannya kemudian menangis, duh, rasanya lega sekali. Seolah-olah beban itu terangkat sedikit, meski belum sepenuhnya terselesaikan.
Dulu, sekarang, dan selanjutnya, kata kuat adalah magis untukku.
Kuat Fer, kuat. Aku tahu kita kuat.
Dari dulu, aku bukan tipe orang yang suka menghafal. Selain hitung-hitungan, pelajaran agama, dan bahasa, sisanya blas sulit dipahami. Aku suka mengikuti alur cerita, tapi bukan untuk intensi ujian.
Aku ingat sih membaca biografi Pak Oerip Soemoharjo kelas 4 SD. Bukunya ku ambil dari perpustakaan sekolah. Dan sungguh maafkan aku, bukunya entah di mana sekarang, tak pernah kukembalikan.
Pak Oerip dulu sempat ganti nama karena sering sakit. Kemudian namanya diganti menjadi Oerip, agar beliau tetap hidup, pun memiliki hidup yang baik. Pak Oerip yang tadinya sekolah umum, tapi kemudian bertemu seorang tentara dan lantas bercita-cita menjadi tentara. Pak Oerip yang berani memperjuangkan cita-citanya. Pak Oerip yang akhirnya masuk KNIL. Pak Oerip yang menikahi entah anak gurunya atau adik kelasnya (atau bahkan keduanya). Jatuh cinta pada pandangan pertama setelah dewasa. Pak Oerip yang heran kenapa negara hanya punya hansip setelah merdeka. Kata Pak Oerip, "Aneh, negara zonder tentara".
Kelas 4 SD dulu, sempat demam Taufik Hidayat. Maklum, doi abis menang Olympic. Langsung jadi cover buku Bahasa Inggris. Di dalamnya, ada bab tentang olahraga yang berisikan gambar tokoh-tokoh yang berprestasi di bidangnya. Tentu ada Taufik Hidayat. Selain aa Opik, ada juga Ellyas Pical (tinju) dan Yayuk Basuki (tenis). Sejak saat itu aku mulai tertarik dengan olahraga.
Pernah lagi, aku dan Azizah sedang jalan lewat Aula Barat, sambil membicarakan tugas Pak Djarot. Tiba-tiba aku random saja nyeletuk, "Tahu nggak siapa yang nyiptain lagu Badai Pasti Berlalu? Eros Djarot". Kemudian Azizah mengapresiasiku "Feran nih kocak suka tahu yang random-random". Padahal, aku tahu karena malamnya aku habis nostalgia KOA VIII dan lagu Badai hehe. Maklum, lagu Badai ini dulu paling horor setelah Symphony No. 5. Hampir hampir aku nekad main tengkep sepanjang lagu 🙈.
Masih banyak memori lain yang terjadi bertahun-tahun lalu, dan masih membekas di otakku. Tapi, jalan dari rumah Mbah ke kosan pun aku tak hafal haha. Aku selalu mengandalkan google maps, jalur busway, dan jurus bertanya untuk mencapai tujuan.
Asosiasi nama dan wajah orang pun cukup sulit kuhafal. Kadang aku hafal wajahnya, tapi namanya sulit kuingat. Aku bersyukur ada panggilan semacam Mas dan Mbak. Kalau tiba-tiba aku hanya memanggil Mas, Mbak, artinya kulupa namanya siapa hehe.
Mungkin ini agak aneh, tapi menurutku, kalau nggak spesial, buat apa diingat, kan? Tapi sayangnya kenangan buruk juga spesial, jadi juga punya tempat tetap di memoriku.
"Kalau nggak/belum spesial, aku bahkan akan lupain namamu dalam 5 menit".
Kemarin, akhirnya aku memutuskan nonton One Piece episode 1. Penasaran kenapa semua orang keukeuh kalo One Piece adalah the best anime/manga ever, plus biar nyambung obrolan di kantor haha.
Well, meski animasinya masih ala kadarnya (ya gimana, tahun 1999 gitu), tapi di episode 1 ini ada quotes menarik dari Luffy.
It's not about possible or impossible, I'm doing it because I want to. I decided to become Pirate King, and if I die fighting for it, then that's that.
Bagus, nggak? Kalau yang nonton lagi dalam kondisi mencari jati diri, atau dalam kondisi sedang bertanya-tanya tentang segala sesuatu, bakalan wah banget nih dikasih quotes ginian. Akan sangat relate sama kehidupan.
Kemudian otakku, seperti biasa, mulai cocoklogi. Oh, pantes ya pada suka nonton One Piece, dapet gitu energi positifnya. Dan mungkin untuk sebagian orang, nonton kisah perjuangan si Luffy ini buat dapetin One Piece, itu bakal sangat entertaining. Sama kayak ketika aku nonton Haikyuu. Siapa sih yang nggak seneng lihat perjuangan yang berbuah manis?
Kemudian lagi, jadi inget dulu pernah baca kenapa di India itu film-filmnya selalu ada nari-narinya. Katanya, itu karena di India demand hidup itu segitu tingginya, dan nggak ada cukup waktu untuk hiburan. Untuk mempersingkat waktu, segala jenis hiburan, yaitu seni peran, seni musik, dan seni tari, digabungkan dalam satu karya berupa film.
Jadi ketika mereka nonton film itu, semua ada. Plus lagi selalu happy ending kan, jadi ya seru lah nontonnya. Akan laku banget.
Kenapa umumnya emak-emak suka nonton sinetron, walaupun kayaknya nggak masuk akal aja gitu ceritanya? Karena hidup juga kadang unbearable. Nonton sinetron yang intriknya segitu njelimetnya (yang mana sama kayak hidup kita), tapi ujung-ujungnya pemeran utama akan selalu berujung bahagia.
Mungkin ketika nonton sinetron, ngeliat tokoh protagonisnya disiksa macem-macem, tapi masih aja ada yang nolongin, secara nggak langsung, mungkin yang nonton juga terharu dan berharap ada juga yang menyelamatkan mereka di kisah hidup mereka.
Intinya, kenapa manusia suka seni sandiwara, karena semua hal yang ada di sandiwara itu juga terjadi di kehidupan nyata. Kita melihat refleksi kehidupan dalam sandiwara. Ketidakmampuan menangisi kehidupan sendiri, dialihkan jadi menangisi kehidupan 'orang lain' dalam sandiwara tersebut. Pun manusia berharap punya kekuatan yang sama untuk kemudian memiliki akhir yang sama, happy ending.
Tapi sayangnya, dalam hidup tidak semua hal selalu happy ending.
Oke, sounds bullshit haha. Aku pun bukan tipe orang yang friendly ke semua anak-anak. But in some cases, you will see me as a caring adult. Buktinya Raffa sering nanyain ateu Fera wkwk.
Pertama, lakukan dengan hati. Pastikan kalian emang suka sama anak itu. Kalo emang nggak suka dan hanya cari muka, bye aja deh. Anak-anak itu manusia paling polos yang hanya mendeteksi "oh A ini care, aku seneng bareng dia". Akan kerasa kalo hanya modal beliin ini beliin itu. Mungkin works dalam beberapa kasus. Tapi tidak semua kasus.
Kedua, pahami situasi dan kondisi. Butuh waktu untuk adaptasi sama anak-anak. Baik-baikin lah. Tapi inget, kalau dia nggak mau, jangan dipaksa. Anak juga insecure sama orang yang belum dia kenal. Yang penting buat dia familiar sama keberadaan kita. Kalau udah familiar, baru lanjut ke action berikutnya.
Ketiga, jangan keseringan usil/jahilin anak-anak. Oke, mereka lucu. Tapi anak-anak itu bukan mainan orang dewasa. Jadilah anak-anak dan ikut main sama mereka, bimbing mereka. Intinya, buat waktu bersamamu menjadi waktu yang menyenangkan. Trigger curiosity mereka, support apa yang mereka suka. Anak-anak suka tantangan kok. Diajak bermain suara, baca buku, bercerita, itu cukup bagi mereka.
Keempat, jadilah orang dewasa yang mengayomi. Biarkan anak-anak merasa aman dan nyaman ketika bareng dengan kita. Tapi ini hanya bisa dilakukan kalau orang dewasanya memang peduli sama si anak. Intinya, biarkan anak merasakan kalau kita sayang sama dia. Bentuknya bisa macam-macam lah ya. Jangan baeud sama anak-anak. Jangan lampiaskan marah sama mereka. Sebaliknya, tunjukkan kalau kita adalah sosok yang penyayang dan dependable.
Kelima, jangan kasar sama anak-anak. Bagi orangtua, tentu memang ada waktunya keras sama anak-anak. Tapi, untuk orang lain, even sebagai om/tante, perlakukan mereka dengan lembut. Bahkan ketika mau menegur anak, lakukan dengan baik. Beri pengertian kalau yang dia lakukan itu kurang baik, sekaligus beri solusi sebaiknya seperti apa.
Lima hal di atas yang kupraktekkan kepada ponakan-ponakan balitaku. Cukup efektif, walaupun belum tokcer untuk setiap anak. At least maci fera dan ateu fera terbukti punya kredibilitas yang bisa dipertanggungjawabkan haha.
Aku paham setiap orang punya path masing-masing. Karenanya, tidak semua orang punya jalan yang sama. Tidak bisa berjalan bersama terus menerus. Tujuan kita tak sama, atau tujuan kita sama, hanya jalan kita berbeda. Banyak rumah singgah yang perlu aku dan kalian singgahi, tapi rumah singgah kita berbeda.
Aku paham betul orang lain akan datang hanya ketika butuh. Memang naturenya seperti itu. Hanya orangtua dan keluarga inti yang tidak begitu. Pun aku senang ketika orang lain datang, ternyata aku cukup dipercaya olehnya.
Tapi bukan berarti semua orang boleh datang sesuka hati kemudian berlaku seenak dengkul. Boleh datang ketika sulit. Pun absen ketika senang. Aku paham bahagia kalian tidak melulu menuntut hadirku.
Aku mau jadi pendengar yang baik. Tapi tolong, jangan hadir memberi nestapa.
It was never easy. Life will never be easy. But God can easily make me stronger 😁
Bersyukur hari ini ngaji ke Bonjer. Bersyukur ada orang-orang yang ngingetin ngaji. Bersyukur ketika down kena guyuran nasehat. I was too naive to expect more on someone, or something. Dan akhirnya selalu teringatkan untuk kembali ke Allah. Alhamdulillah 😬
Dan lebih bersyukur karena ya, jawaban yang kutunggu ternyata ada di depan mata 😅 Jangan terlarut dalam kesedihan, ada hal indah menunggu di depan 😁
Seringkali aku berpikir terlalu jauh tentang manusia. Menerka-nerka perasaan orang lain. Tapi juga tidak berani bertanya untuk mengonfirmasi.
Apalagi tentang whatsapp. Begitu banyak pertanyaan di kepala.
Kenapa mematikan last seen dan read receipt? Apa yang aku hindari? Apa yang orang lain hindari?
Sebelum ada fitur seperti itu, manusia baik-baik saja dengan sistem komunikasi seperti SMS, atau bahkan surat. Ketika SMSku tidak dibalas, aku tidak berpikir ia menghindariku. I don't feel ignored.
Teknologi memang dua mata pisau. Jadilah ia juga memunculkan prasangka-prasangka.
Kenapa pesanku tak berbalas? Kenapa pesanku tak dibaca? Kenapa pesanku dihindari?
Aku paham betul setiap insan butuh privasi dan butuh waktu sendiri. Hanya saja, juga sudah naturenya kepentingan antar manusia itu bergesekan. Jadilah bisa menimbulkan suara atau api.
Aku tahu menerka-nerka itu tidak selalu baik. Ada insecurity dan trust yang dipertaruhkan di dalamnya. Pun manusia bukan Tuhan yang mampu tahu isi pikiran/hati manusia lainnya.
Kita hanya takut bertanya lebih jauh, karena juga takut jawaban yang keluar akan berbalik menyakiti diri sendiri.
Kemarin, aku mencetak rekor baru dengan mencapai level 400
di game Candy Crush Saga! Wow, tidak menyangka!
Ya walaupun temanku sudah di level ribuan, dan bahkan kakakku
selalu mentok sampai-sampai next levelnya bahkan belum ada 😅 I don’t mind,
main game bagiku sekarang adalah killing the time dan perihal entertaining.
Dulu, karena teman dan kakakku itu, aku selalu menganggap
Candy Crush Saga adalah permainan mikir yang butuh keahlian khusus. Maklum,
dulu mentok terus, susah naik levelnya. Sampe dikasihanin sama developernya, baru
deh naik level haha.
Sekarang, karena mainnya nggak pake mikir berat, alias nothing to loose, malah mulus-mulus aja. Nggak mudah, tapi selow aja gitu. Jadi lebih menikmati permainan (udah kayak pemain badminton aja ini haha).
Di sisi lain, dua hari ini, teman-teman kantorku sedang giat berlatih typing 10 jari. Poin mereka selalu meningkat, karena terus-terusan berlatih. Aku? Karena memang tidak berlatih serius, ya progressku sangat lambat hehe.
Di sisi lain, dua hari ini, teman-teman kantorku sedang giat berlatih typing 10 jari. Poin mereka selalu meningkat, karena terus-terusan berlatih. Aku? Karena memang tidak berlatih serius, ya progressku sangat lambat hehe.
Saat kugoda temanku karena progressnya cukup pesat, dia bilang "Bisa Fer, ini aku dari kemarin nggak berenti, hajar terus, jadinya jarinya masih inget".
Dari kedua pengalaman itu, kesimpulannya adalah : bisa karena biasa, bisa karena diusahakan, dan bisa karena menikmati perjuangannya. Makanya ada istilah "Witing Tresno Jalaran Soko Kulino" hahaha.
Selalu sebel kalau sholat berjamaah, terus imamnya cepet banget gerakannya, kayak nggak selesai baca doanya. Entah nggak selesai atau bacanya memang secepat kilat.
Jadi, apa gunanya sholat, kalau cuma buat gugurin kewajiban?
I know bakal dibilang so suci banget gara-gara ngomong gini. Bodo amat! Ku sudah mencoba baca Alfatihah dan surat Albaqoroh cuma ayat 1 doang, masih nggak keburu itu gerakan imam!
What's the point of having meet with your God, then? Bayangin lo ketemu temen lo, terus dia nyerocos kasih info secepat kilat, cuma biar info itu nyampe ke lo, tapi lo ga paham maknanya.
Well, perumpamaan yang tidak semestinya sih, karena memang bukan Allah yang butuh kita.
Tahu kan ya, sholat itu tiang agama? Hal pertama yang akan dihisab di hari kiamat nanti? Kalau tahu, kenapa masih nggak mikir?
In case sholat berjamaah ya, itu dosanya jadi dosa imam loh (mangga dikaji haditsnya). Makmumnya mah auto dapet 25 derajat pahala!
In case sholat sendiri, kalau khusyuk itu pahalanya 1. Ngalamin kan kalau sholat itu suka tiba-tiba inget sesuatu. Barang lupa naroh, tiba-tiba inget ada di mana. Tiba-tiba inget belum matiin kompor. Ya gitu lah. Itu tuh kerjaannya syetan. Udah mah gitu, masih ditambah gerakannya nggak tumaninah, terus sampeyan mau pahala 1? Mimpi kali!
What's the point of having meet with your God, then? Bayangin lo ketemu temen lo, terus dia nyerocos kasih info secepat kilat, cuma biar info itu nyampe ke lo, tapi lo ga paham maknanya.
Well, perumpamaan yang tidak semestinya sih, karena memang bukan Allah yang butuh kita.
Tahu kan ya, sholat itu tiang agama? Hal pertama yang akan dihisab di hari kiamat nanti? Kalau tahu, kenapa masih nggak mikir?
In case sholat berjamaah ya, itu dosanya jadi dosa imam loh (mangga dikaji haditsnya). Makmumnya mah auto dapet 25 derajat pahala!
In case sholat sendiri, kalau khusyuk itu pahalanya 1. Ngalamin kan kalau sholat itu suka tiba-tiba inget sesuatu. Barang lupa naroh, tiba-tiba inget ada di mana. Tiba-tiba inget belum matiin kompor. Ya gitu lah. Itu tuh kerjaannya syetan. Udah mah gitu, masih ditambah gerakannya nggak tumaninah, terus sampeyan mau pahala 1? Mimpi kali!
Di pemikiranku yang dangkal ini, hidup ini layaknya kita main game. Banyak banyakan numpuk poin pahala terus ntar dibandingin jumlahnya sama tumpukan dosa.
Dosa kita nih banyak Bro, Sist. Coba aja lo itung tiap hari ngapain aja. Lah, kalau sholat nggak khusyuk, cuma asal setor doang, kan hitungannya kita nggak dapet dosa meninggalkan sholat, tapi nggak ada pahala sholatnya juga.
Kalo mau ngandelin amalan lain, ya bayangin aja, yang pokok plus utama dan paling wajib aja nggak bisa tertib, terus ngarepin amalan yang lain? Mimpi kali!
Jadi, apa gunanya sholat, kalau cuma buat gugurin kewajiban?
Selalu lupa rasanya sakit
Kalau sudah sembuh
Selalu lupa rasanya dingin
Kalau sudah panas
Selalu lupa rasanya ringan
Kalau sudah berat
Selalu lupa rasanya bahagia
Kalau sudah sedih
Selalu lupa rasanya bersyukur
Kalau sudah tamak
Selalu lupa rasanya tahu
Kalau sudah lupa
Selalu lupa rasanya diindahkan
Kalau sudah diabaikan
Selalu lupa rasanya cinta
Kalau sudah bosan
Selalu lupa rasanya enak
Kalau sudah pahit
Selalu lupa rasanya lapar
Kalau sudah kenyang
Selalu lupa rasanya kencang
Kalau sudah longgar
Selalu lupa rasanya asing
Kalau sudah akrab
Selalu lupa rasanya lebih
Kalau sudah kurang
Selalu lupa rasanya pindah
Kalau sudah tetap
Akan lupa rasanya hidup
Kalau sudah mati
Kalau sudah sembuh
Selalu lupa rasanya dingin
Kalau sudah panas
Selalu lupa rasanya ringan
Kalau sudah berat
Selalu lupa rasanya bahagia
Kalau sudah sedih
Selalu lupa rasanya bersyukur
Kalau sudah tamak
Selalu lupa rasanya tahu
Kalau sudah lupa
Selalu lupa rasanya diindahkan
Kalau sudah diabaikan
Selalu lupa rasanya cinta
Kalau sudah bosan
Selalu lupa rasanya enak
Kalau sudah pahit
Selalu lupa rasanya lapar
Kalau sudah kenyang
Selalu lupa rasanya kencang
Kalau sudah longgar
Selalu lupa rasanya asing
Kalau sudah akrab
Selalu lupa rasanya lebih
Kalau sudah kurang
Selalu lupa rasanya pindah
Kalau sudah tetap
Akan lupa rasanya hidup
Kalau sudah mati
Bagi
umat Muslim, tentu sangat umum memilih nama dari Bahasa Arab, terlebih
nama-nama Rasul/Malaikat maupun Asmaul Husna. Mengapa? Ya tentu karena arti kata Bahasa
Arab serta kisah para nabi yang sungguh sarat makna religius.
Nama
adalah doa. Tentu.
Tapi, jangan keliru mengambil kata. Bahasa Arab, layaknya bahasa-bahasa lain di dunia
ini, tidak hanya terdiri dari kata-kata baik, tapi juga kata-kata yang maknanya
cenderung negatif.
Terlebih dalam Bahasa Arab, perbedaan huruf akan
menghasilkan makna yang berbeda. Qalbun dan kalbun adalah dua entitas yang
berbeda. Selalu cek makna kata sebelum mengesahkannya sebagai nama.
Jangan keliru memilih nama dari riwayat kisah perjuangan Islam masa lalu. Sudah umum para orangtua memilih nama Muhammad atau Ahmad yang diambil dari nama Rasulullah SAW. Tentu harapan para orangtua ini agar anaknya memiliki perangai layaknya Rasulullah SAW.
Tapi, bagaimanakah jika ada orangtua yang kurang menggali lebih dalam sehingga menamai anaknya dengan nama Lahab, mentang-mentang ada surat Al Lahab di Alquran?
Setelah memilih nama yang baik dan sarat makna, hal yang perlu diperhatikan adalah perihal penyebutan. Sudah sangat lazim dalam pergaulan masa kini, anak-anak ataupun remaja saling mengejek, meski masih dalam batas koridor yang wajar. Tapi, apakah sudah benar wajar?
"Si XX geblek, anjir". Hanya sebagian kecil dari omongan masa kini para millenial. Kalau XX memiliki nama yang kebetulan adalah nama Nabi, terlebih jika namanya diambil dari Asmaul Husna, secara tidak langsung, pembicara telah memaki kepada nabi atau Allah!
Berlebihan? Itulah konsekuensi memilih nama yang baik. Maka sebutlah dengan cara yang baik pula.
Satu-satunya cara terhindar dari konsekuensi tersebut, adalah dengan tidak memilih nama-nama Asmaul Husna, para Rasul/Malaikat, ataupun shahabat nabi. Masih banyak kata-kata lain yang pantas dan bermakna bagus untuk dijadikan sebuah nama. Silakan pikirkan masak-masak sebelum memberi nama.
Nama adalah doa, maka pilihlah dan sebutlah doa itu dengan baik.