Kehidupan Membaca dan Menulis

By feranlestari - July 09, 2018

Sebetulnya tulisan ini terinspirasi dari pertanyaan Mbak Irma tentang genre apa yang kubaca. So, this is it.

Di awal masa pubertas, aku suka sekali membaca novel teenlit atau terbitan Metropop. Isinya tentang percintaan, ya sekitar itu lah. Selain membaca novel teenlit, aku doyan juga mendengarkan musik Korea dan Jepang. Bermula dari temanku yang membawa laptop dan memutar MV Hey Say Jump haha.

Selama SMA rasanya yang kubicarakan dan topik yang kuangkat dalam tulisanku melulu tentang cinta. Padahal ya, ngerti apa sih tentang cinta? Bocah memang.

Beranjak kuliah, malas sekali membaca tulisan tentang cinta. Rasanya terlalu menye-menye. Genre bacaanku beralih ke novel-novel garapan Tere Liye, Andrea Hirata, tentang pengalaman hidup. Oh ya, apakah ini termasuk buku motivasi? Aku tidak suka membaca buku motivasi. Rasanya seperti omong kosong bagiku. "Cara Cepat jadi Pengusaha". Oh, man, please deh.

Selama kuliah, hobi menonton film tumbuh pesat. Genrenya variatif, mulai dari romance (stok film ketika malas mikir), medical, criminal, thriller, sports, atau komedi. Omong-omong, mayoritas film yang kutonton berasal dari Asia Timur haha. Seleraku memang Kento Momota after all, bukan Victor Axelsen haha. (Silakan di-googling sendiri ya).

Sebetulnya ketika kuliah juga, aku sempat mengambil mata kuliah jurnalistik. Murni karena ingin menulis. Tulisanku masih kurang tajam untuk menjadi jurnalis. Bahkan untuk menulis dengan tema sesuai bidang keahlian secara populer, rasanya sulit.

Menulis bagiku adalah mengungkapkan rasa. Dan rasaku terkadang bukan berceloteh tentang keilmuan. Jadilah tulisanku masih (dan mungkin akan terus) berkutat perihal tanggapan akan fenomena sosial yang kualami.

Di akhir masa perkuliahan, datang saatnya ketika aku mulai suka membaca buku tentang sejarah. Lebih tepatnya mungkin biografi. Mulanya karena aku suka sekali ketika membaca novel "TAN - Sebuah Novel". Kemudian berujung membeli buku-buku klasik, dari "Madilog" sampai "Burung-Burung Manyar", walaupun belum tamat kubaca. Aku cukup suka dengan gaya bercerita pada novel klasik, walaupun cukup sulit untuk diikuti.

Dari sekian buku dan film yang kulahap, mungkin berimbas pada gaya menulisku. Sejujurnya aku tidak suka menggunakan kata-kata informal, walaupun tetap saja beberapa kali aku menggunakannya karena tidak menemukan kata lain yang sepadan. Dan karena itu pula, mungkin tulisanku terasa setengah-setengah, mau santai tapi sedikit kaku karena penyampaiannya sedikit baku. Mungkin karena ketika menonton film, aku menggunakan subtitle Bahasa Inggris yang kalimatnya cenderung bahasa formal dan benar secara tenses. Baiklah, mulai cocoklogi.

Ketika ditanya tentang genre tulisan, rasanya bingung. Kutegaskan lagi, aku lebih suka membuat tulisan yang membahas fenomena yang terjadi di kehidupanku. Mungkin karena aku cenderung introvert jadi aku lebih suka berkomentar melalui tulisan.

Ketika membuat review setelah membaca suatu buku, aku cenderung mengikuti gaya story-telling si penulis. Wajarkah? Mungkin karena ceritanya masih terpatri dalam di otakku ya.

Kehidupan membaca dan menulisku memang masih seumur jagung. Masih sangat kurang membaca, terlebih dalam hal tulisan, sangat kurang jam terbang. Bagiku tak apa.

Sebetulnya aku ingin membuat buku sendiri. Salah satu tujuanku mengikuti 30 Hari Menulis juga karena akan ada pendokumentasian tulisan. Dan kemudian ide itu terbersit, kenapa tidak aku bukukan sendiri tulisan-tulisanku? Ya, tentu saja boleh kan.

Aku suka membaca, walaupun cukup pemilih. Membaca meninggalkan kesan dan memori. Memori itu akan hilang, tapi tulisan bisa mengekalkan memori itu, setidaknya selama kiamat belum terjadi. Untuk itu, aku perlu menulis agar kenanganku tak hanya tersimpan di kepala.

#533kata

  • Share:

You Might Also Like

0 comments