cr: Gramedia |
Judul : Laut Bercerita
cr : Goodreads |
Judul : Ikan Kecil
Judul : Keajaiban Toko Kelontong Namiya
"Kalo aku nanti disuruh suamiku buat jadi IRT ya mau mau aja, thoat. Selama kebutuhannya tercukupi semua"
Juni 2021
Setelah sebelumnya berpikir bahwa bekerja adalah hakku dan aku berharap punya suami yang menghargai keputusanku. Kemudian kesimpulanku hari ini: semoga ketika punya anak, sudah mapan secara finansial sehingga setidaknya bisa lega kalau mau jadi fulltime IRT.
Ternyata, menjadi IRT itu terkadang juga adalah sebuah privilege ...
tik
tik
Putaran masa bertambah tiga detik
Tak
tak
tak
Tiga hitungan kembali berdetak
Tuk
tuk
tuk
Sampai kapan waktuku diketuk?
Sumber: Windows on World |
Judul : Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak
Tanggal rilis : 16 Nopember 2017
Sutradara : Mouly Surya
Penulis naskah : Mouly Surya & Rama Adi
Produser : Rama Adi & Fauzan Zidni
Pemeran : Marsha Timothy, Dea Panendra, Yoga Pratama, Egi Fedly
Durasi : 90 menit
Bahasa : Indonesia
Negara asal : Indonesia
Sumber : AsianWiki |
Judul : The Dead Returns
Penulis : Akiyoshi Rikako
Tanggal Terbit : Maret 2019
Tebal : 248 halaman
ISBN : 978-602-53858-0-3
Bahasa : Indonesia (terjemahan)
Semua bermula saat dua bulan lalu, Koyama Nobuo mendapatkan surat di laci mejanya, -yang ia kira dikirim oleh Yoshio, satu-satunya temannya-, bertuliskan "2 September, jam 19:00. Aku tunggu di Tebing Miura Kaishoku". Saat menunggu dan merasakan kehadiran seseorang, tanpa sadar Koyama didorong dari belakang, kemudian Takahashi Shinji berusaha menolongnya. Saat di ambang kematian, Koyama mendengar dering handphone, mars kematiannya.
Bermodalkan ingatan lagu tersebut, 'Takahashi Shinji' memulai pencarian. Ia mengumpulkan alibi seluruh anggota kelas dan kemudian memverifikasinya. Semakin banyak ia menyelidiki, semakin 'Takahashi' kebingungan. Siapa pembunuhnya? Sasaki-kun? Arai-kun? Yoshio? Takahashi? Atau bahkan ibunya dan Sakamoto-sensei?
Review
The Dead Returns adalah novel Akiyoshi Rikako ketiga yang aku baca. Semuanya bergenre crime-mystery-fiction. Tentu saja, aku memang suka tema begini, baik dalam bentuk buku maupun film.
Dengan latar kehidupan SMA, tentu jadi sangat menarik karena masa remaja adalah masa-masa penuh gejolak, labil, dan terlalu berimajinasi. Terlebih dengan latar kehidupan di Jepang yang mungkin banyak tekanan. Kalau di Indonesia masa SMA adalah masa paling menyenangkan, mungkin di Jepang tidak selamanya seindah itu.
Novel ini dinarasikan dengan cara sudut pandang pertama tokoh utama. Ini jadi hal menarik karena pembaca dibawa marah, kesal, bingung, frustrasi, tersentuh, kagum, dll seiring tokoh 'Takahashi' bercerita. Rasanya seperti membaca buku harian.
Sama seperti buku-buku Akiyoshi lainnya, plot twist merupakan hal yang lumrah. Meski begitu, plot twist di novel ini cukup membuatku kagum. Waah, rasanya hangat sekali memahami alasan si pembunuh. Andai ia mau terbuka sebelumnya. Andai saja Koyama bukan otaku yang terabaikan. 'Andai' yang hanya berujung penyesalan.
Menurutku, kelebihan novel ini adalah pengembangan karakter 'Takahashi' yang dijelaskan secara perlahan. Perubahan peran dari Koyama menjadi Takahashi membuat ia menyadari pola interaksinya yang dulu dengan teman-teman sekelasnya. Pengembangan karakternya yang sangat terasa sampai-sampai 'Takahashi' justru mengalami krisis identitas.
Tapi, di sisi lain, aku menemukan dua typo. Satu di bagian blurb, lalu satu lagi di bagian akhir cerita. Sangat minor, tapi buatku yang cukup perfeksionis, cukup geli melihatnya.
Meski mengusung cerita yang tergolong misteri, The Dead Returns tidak mendeskripsikan adegan yang terlalu sadis ataupun vulgar. Namun, kiranya cocok dibaca oleh para siswa-siswi SMA ke atas ya, sebab ada penggambaran kontak fisik yang sepertinya terlalu dini untuk kategori usia SMP.
Rating The Dead Returns menurutku adalah 9/10. Belum mengalahkan Girls in The Dark, tapi lebih punching dari Scheduled Suicide Day :DD
Jadi, siapakah pembunuh Koyama Nobuo?
Tahun ini, ibuku resmi menjadi ibu selama 30 tahun. Tapi hari ini, 7 Maret 2021, aku masih saja takut menjadi seorang ibu. Bagaimanakah rasanya? Terlebih bila menjadi ibu dari anak yang berbeda? Seberapa pantas dan seberapa tangguhkah aku nanti?
Taare Zameen Par. Bagaimana pun anakku kelak bila terlahir, aku sungguh berharap mampu menjadi ibu terbaik bangsa baginya.
Bila nanti kamu terlahir, Nak, ibu harap bisa memahamimu dengan sempurna. Bila nanti kamu melihat ibu, Nak, ibu harap ibu adalah sosok yang kamu banggakan.
Dulu ceritanya sok-sok-an pertama kali ke Kinokuniya. Abis itu merasa tertantang baca novel bahasa Inggris haha. Kemudian impulsif beli novelnya Sue Fortin. Berikut penampakannya.
Seperti kutipan pertama di buku ini, yang membuatku deg. Memang harus pandai-pandai mencari jalannya syukur ya :DD Jangan gagal melihat hal positif di hidup kita. Tidak boleh menyerah akan diri sendiri 😊
Seperti yang Dee sampaikan selanjutnya, "Hanya engkau yang berhak ada di dalam inti hatimu sendiri". Otomatis teringat dialog di drama Run On yang kira-kira isinya: "aku akan membersamai diriku sendiri dalam durasi yang paling lama. Maka dari itu, aku harus mampu berdamai dengan diriku sendiri". Yes, bahagia memang tidak bisa sendiri, tapi dimulai dari diri sendiri :D
Semua prosa di buku ini, rasanya cukup mencubit hatiku. Dan aku amazed bagaimana kejadian kecil yang bahkan terasa sangat insignificant bisa menjadi prosa bermakna di tangan Dee. Ada lagi kisah yang mana Dee mampu menjabarkan perbedaan para tokohnya secara implisit. Membuatku menebak-nebak kisahnya, kemudian mendapati akhir yang plot twist! Wow, daebak! Walaupun begitu, 1 jam adalah 60x60x1000 ms. Sebagai perfectionist, I found this annoying ✌
Membaca Filosofi Kopi, aku dibawa menjelajahi kehidupanku sendiri, kemudian dibuat terkagum-kagum, lantas dikagetkan dengan akhir yang naas, tapi masih ada rasa lain yang timbul di akhir buku ini. Humor! Tidak menyangka selera humor Dee cukup match denganku. Buktinya aku dibuat tertawa tak henti membaca Rico de Coro hahaha. Hampir lengkap sudah emosi yang ditimbulkan akibat membaca buku ini, kecuali menangis hehe.
Ingin membuktikan sendiri? Silakan baca Filosofi Kopi sesegera mungkin! Berikut spoiler kutipan-kutipan yang berkesan bagiku.
Dari covernya aja, udah wah banget. Judulnya Kekasihku, covernya abstrak, garis-garis saling bertabrakan. Memang, bicara tentang cinta tentu saja bicara tentang ketidakteraturan. Siapa juga sih yang kisah cintanya adem ayem ya kan? Haha.
Dengan kemampuan interpretasi puisi yang sangat pas-pasan ini, 'ku mulai membaca. Dimulai dari Pacar Senja yang aduhai membuatku takjub. Kok bisa ya senja digambarkan sebagus ini :DDD Lanjut ke Dua Orang Peronda yang sungguh bikin kalut dan kesal. Cinta memang bisa jadi permainan super gila. Ada lagi Malam Pertama yang sungguh kocak. Judulnya sungguh memikat gini.
Ada potongan puisi di Koran Pagi yang wow sekali. "Koran pagi masih mengepul di atas meja. Ke suaka ingatan mereka hijrah". Duuuuuh kenapa bagus banget diksinya. Aku jatuh cinta!!! Ada puisi Tiada yang langsung bikin hati jadi nggak keruan. Kasih sayang sungguh adalah core kehidupan.
Ada lagi puisi Baju Bulan yang diksinya "Atap paling rindang bagi yang tak berumah dan tak bisa pulang". Duh, nyes banget Gustiii :(((( Atau puisi Dengan Kata Lain yang endingnya cukup wow, plot twist tapi nggak plot twist. Keren! Terakhir, ada puisi Kosong yang sungguh menggambarkan tentang kesepian. Why,,,
Lembar demi lembar, semakin 'ku baca semakin sadar kalau puisi itu nggak harus mengandung majas. Tapi puisi itu harus punya makna walaupun tidak menggunakan majas secara eksplisit. Sulit menjelaskan rasanya, memang harus baca buku semacam Kekasihku ini hehe.
Walaupun selama paruh akhir buku, otakku sudah mengepul rada kurang nyampe, overall aku suka sensasi membaca buku ini. Well, baca buku puisi tidak seburuk yang aku bayangkan. Mari kita belajar membaca puisi :DDD
Cinta itu tidak abadi
Cinta itu butuh usaha
Tidak ada yang namanya cinta sejati
Hanya ada dua wujud cinta
Nafsu,
atau komitmen
Sejauh ini, belum berhasil menamatkan Madilog hehe. Sepertinya memang perlu menamatkan di waktu weekend. Berhubung masih dalam rangka surfing di iPusnas, mari membaca buku seri Tempo.
Buku seri Tempo edisi Tan Malaka ini tidak diceritakan dengan runut secara garis waktu. Misalnya saja kisah testamen politik Soekarno pada Tan Malaka yang diceritakan terlebih dahulu sebelum pertemuan Tan dengan Sun Man (Sun Yat Tsen), meski jelas Tan Malaka bertemu Sun Man lebih dulu selama pelarian dalam 20 tahun.
Tan Malaka tentu adalah tokoh penting dalam terwujudnya kemerdekaan Indonesia, meski beliau bahkan terlambat mengetahui terjadinya proklamasi kemerdekaan oleh Soekarno/Hatta. Buah pemikirannya dalam Massa Aksi secara tidak langsung telah mengilhami para pemuda, termasuk Soekarno dan W.R. Supratman dalam memperjuangkan kemerdekaan.
Perjalanan politik Tan Malaka dimulai sejak pertemuannya dengan Herman Wouters dan Van der Mij di Haarlem. Proses membaca dan diskusi yang menjadikan Tan menganut paham kiri yang antikapitalis dan antiimperialisme.
Namun, seperti yang dijelaskan dalam buku seri ini, Tan bukanlah Marxis fundamentalis. Tan adalah Marxis tulen dalam pemikiran, tetapi nasionalis yang tuntas dalam semua tindakannya. Sebut saja pemaparan gamblang Tan tentang perlunya kerjasama antara pihak komunis dan islami dalam mengentaskan imperialisme dan kolonialisme.
Tentu saja hal itu bertolak belakang dengan paham Komintern yang percaya bahwa islam menganut paham yang sama dengan kolonialisme. Tan boleh saja menganut paham Marxis, berpihak pada kaum proletar, tetapi ia semata-mata mengharapkan terwujudnya kemerdekaan Republik Indonesia. Sebut saja gagasannya di Naar de Republiek Indonesia yang bahkan tercetus sebelum Sumpah Pemuda 1928.
Tan Malaka adalah sosok yang selalu percaya bahwa perundingan bukan jalan menuju kemerdekaan yang 100%. Menurutnya, revolusi hanya bisa diwujudkan dengan kekuatan massa. Hal ini pula yang membuat Tan kontra akan pemberontakan PKI pada tahun 1926. Kaum proletar saat itu tidak memungkinkan terjadinya kemerdekaan. Pun saat ditawari peran dalam pemerintahan, Tan menolak sebab merasa kemerdekaan Republik Indonesia belum sepenuhnya 100%.
Gambaran kemerdekaan bagi Tan seumpama burung gelatik yang terancam kucing di dahan rendah, dan terancam elang di dahan tinggi, tetapi digdaya dalam kumpulan, yang mana mampu menjarah padi para petani yang sedang menguning. Baginya merdeka adalah bebas dari ketakutan dan tak menebar teror pada bangsa lain.
Republik Indonesia, menurut Tan Malaka semestinya tidak menganut paham Trias Politica, tetapi justru mewadahi ketiganya (pencetus, pelaksana, dan peradilan) dalam satu badan. Tentu saja Tan amat kontra dengan sistem parlementer. Baginya, parlementer akhirnya hanya akan memihak penanam modal, alih-alih menyuarakan kaum proletar.
Perbedaan paham politik antara Tan Malaka dengan Mohamad Hatta, Sjahrir, atau bahkan Soekarno, pada akhirnya berujung pada maut. Ironis sekali mengingat Tan Malaka malang melintang selama 20 tahun bergerilya di berbagai negara, tetapi hilang kepala di negeri sendiri.
Saat itu aku tidak membelinya. Entah, aku tidak ingin saja. Tapii, hari ini ketika berselancar ria di iPusnas, akhirnya aku meminjamnya. Tak banyak buku yang menarik perhatian (mungkin juga karena aku belum lihai mencari), jadi ketika menemukan sederet karya penulis yang namanya familiar, langsung saja 'ku sikat bukunya.
-----
Berisi kumpulan sajak tentang cinta. Kalau sedang kasmaran, tentu saja menggebu-gebu menbacanya. Tapi, tunggu dulu. Cinta bukan saja tentang pertemuan dan kebahagiaan. Tere Liye menjelaskan tentang hal itu dengan ringkas dalam rangkaian sajak-sajaknya.
Tere Liye mengajakku membayangkan cinta. Tentu saja kita berharap akan kebahagiaan. Membersamai seseorang yang 'ku pikir layak dan sanggup dan mau membersamaiku. Menatap jalan di depan bersama. Memandang langit dari jendela yang sama. Menyongsong hidup bersama. Segalanya bersama.
Tapi, apakah itu selalu terjadi?
Sayangnya tidak
Cinta, apakah ia sesungguhnya bisa dikendalikan secara menyeluruh? Bisakah kita memilih siapa yang akan kita cintai? Bisakah kita benar-benar merelakan yang kita cintai? Apakah cinta betul-betul setulus 'asalkan ia bahagia, tak mengapa tak bersama'?
Mungkin jawabannya, antara ya dan tidak. Antara nol dan satu. Ada banyak angka kan antara nol dan satu?
Ada banyak kisah terjadi di dunia ini, untuk satu tema cinta. Dimulai dari yang sangat menyedihkan sampai yang sangat membahagiakan. Dari yang sangat diam hingga yang sangat tersuarakan. Ada yang terasa ringan, ada yang terasa lebay. Sudah lebay, tapi jua tak bersama. Betapa malang.
Sekian juta rasa pengikut, sekian miliar tokoh, sekian juta pasangan yang tetap. Tentu saja ada yang bersambut dan ada yang patah. Tapi, patah atau tidak, bersambut atau tidak, cinta tetaplah cinta. Apakah ia akan berkurang meski mematahkan?
Apakah kamu akan berhenti mencinta ketika ia mulai terasa menyakiti?
-----
Dari sekian sajak di buku ini, sajak-sajak berikut cukup menyentil hatiku haha
- Memilikimu
- Jangan Habiskan
- Kalaupun Tidak
- Angin, Hujan, dan Sakit Hati
- Sepotong Bulan untuk Berdua
- Sajak Remote
- Sajak Putri dan Pangeran
- Bukankah, atau Bukankah
- Lebay
- Bilang
We never really attached to each other. Once we get used to it, a new normal has come. That's why, when we choose a different path, it will break us, but never really kill us. And even when the loved one is gone from this world, we will eventually get used to live without her/him/them.
In the end, we should love ourselves more than any other creatures in the world. We live not only for one people. And even if it's true, we should live for ourselves.