Anak Perempuan Ayah

By feranlestari - July 04, 2018

Hai, namaku Driva. Aku punya beberapa saudara perempuan, yang beberapa diantaranya lahir lebih dulu dibandingkan aku.

Bisa kalian tebak?

Tepat! Lagu anak-anak 'Sayang Ibu' itu pas sekali untukku. Masih ingat liriknya? Ini lagu sepanjang masa loh, tak lekang oleh waktu.

Satu satu, aku sayang ibu.
Dua dua, aku sayang ayah.
Tiga tiga, sayang adik kakak.
Satu dua tiga, sayang semuanya.

Omong-omong tentang lagu ini, sebetulnya aku sedikit bingung. Untukku, lagu ini pas sekali. Tapi lirik lagu ini sama sekali tidak relevan dinyanyikan oleh anak pertama, anak terakhir, atau bahkan anak tunggal. Bagaimana coba?

Dulu aku berpikir, seharusnya kalimat ketiga itu mereka nyanyikan Tiga tiga, sayang adik adik atau Tiga tiga, sayang kakak kakak, kan? Lebih parah lagi, seharusnya kalimat ketiga hilang bagi anak tunggal, tapi kemudian kalimat keempat jadi kurang pas melodinya.

Sungguh sederhana memang pikiranku ketika kecil dulu. Oh, betapa polosnya aku. Aku rindu masa-masa itu.

Oh ya, sudahkah aku beritahu fakta bahwa seluruh anak ayah adalah anak perempuan? Kalau belum, setidaknya baru saja kuberi tahu.

Praktis, ayahku jadi manusia paling tampan seisi rumah! Walhasil, mungkin beliau cukup kesepian. Terlebih kalau pompa air mati. Atau ketika genteng retak. Atau ketika toren air perlu dikuras. Atau lebih sederhana lagi, kalau saluran air di wastafel cuci piring mampet.

Duh, repot kesana kemari. Kadang aku ingin mengingatkannya, "Yah, semua anakmu perempuan loh. Kami ngertinya pegang coet dan mutu, bukan pegang tang dan obeng, apalagi kunci Inggris".

Karena ayah tidak mungkin bekerja sendiri, maka ayah butuh asisten. Dari sekian banyak anak ayah, dibutuhkan satu orang relawan, atau lebih tepatnya si dia yang 'dikorbankan'.

Tebaklah siapa dia.

Yes, tepat sekali. Tentulah aku. Driva, yang tidak menjadi diva, tapi jadi persembahan untuk ayah.

Awalnya aku sangsi apakah aku sanggup menjadi asisten ayah. Duh, rasanya malas. Tapi sekarang, kukira aku jadi punya pengalaman unik.

Sebut saja ketika aku membeli air galon. Walaupun ini memang bukan pekerjaan lelaki, tapi umumnya kami, -anak-anak ayah-, malas mengerjakannya. Padahal hanya semudah memesan saja, nanti juga diantar oleh pedagangnya.

Tapi, suatu ketika, abang kurir sedang pergi. Dan ibu yang sudah kepalang tanggung sedang memasak, keukeuh kalau airnya perlu diambil sekarang karena persediaan hampir habis. Alhasil, aku pulang dengan mendorong roda yang biasa dipakai mengirim tabung gas 15kg.

Air galon kutaruh di atas roda itu kemudian kudorong sampai rumah. Aku mengutuki setiap polisi tidur yang kulewati! Galonnya hampir jatuh, dan jantungku sudah siap-siap untuk kemungkinan terburuk! Aku, si Driva, calon diva yang berubah jadi kurir galon.

Tak selesai disitu, aku harus mengantarkan air galon dari depan pintu rumah, sampai ke atas dispenser. Tanpa pikir panjang, kuangkat galon dengan kedua tanganku. Galonnya berisi air loh.

Jangan salah, masih ada pengalaman lain yang tidak kurang nyeleneh dan memacu adrenalin!

Jadi, ketika itu pompa air di rumah sedang bermasalah. Ayah dan temannya memutuskan untuk mengubah jalur air. Itu artinya, kami perlu beberapa pipa paralon yang baru.

Tentu saja, akulah yang sangat beruntung mendapatkan tugas mulia membeli pipa. Tak tanggung-tanggung, ayah memberi perintah untuk membeli pipa sepanjang dua meter.

Ya, sedalam kolam renang itu. Duh, tinggi badanku saja tidak lebih dari 150 cm!

Aku pergi ke toko material terdekat. Karena dekat, maka aku pergi berjalan kaki. Sialnya, ketika sampai, pipa sepanjang dua meter sudah habis terjual. Berhubung aku adalah Driva, si anak baik calon diva, maka aku pergi ke toko material lainnya. Pantang pulang sebelum misi selesai!

Memang di sepanjang jalan itu ada beberapa toko material. Tidak hanya satu, mungkin ada sekitar lima toko. Aku pergi ke toko kedua, ketiga, dan seterusnya. Pada akhirnya, aku menemukan pipa sepanjang dua meter itu di toko material yang jaraknya sekitar satu kilometer dari rumah.

Ya, aku berjalan kaki satu kilometer demi membeli pipa dua meter.

Tunggu, ceritaku belum selesai.

Selesai kubeli, waktunya pulang! Yeay.

Tapi kemudian, karena aku cukup polos sehingga tidak membawa apapapun kecuali uang. Maka aku perlu pulang dengan berjalan kaki. Ya, another jalan kaki satu kilometer.

Bayangkan kalian melihat anak perempuan setinggi 1,5 meter berjalan kaki di pinggir jalan sambil membawa pipa sepanjang dua meter! Haha, mungkin aku tertawa melihatnya. Ya, menertawai diriku sendiri. Dengan catatan, dalam arti positif ya.

Sepanjang jalan, satu-satunya yang aku khawatirkan adalah bagaimana kalau pipa yang kubawa ini menyenggol orang lain. Berjalan di belokan? Kuputar otak, kupegang pipa secara vertikal.

Ketika sampai di rumah, sontak seisi rumah tertawa melihatku. Ayahku senyum-senyum saja melihat anak gadisnya pulang selamat. Sekali lagi aku, si Driva, calon diva yang bertransformasi menjadi kurir tukang material.

Kakakku dengan polosnya berkata, "Driv, sejak kapan kamu jadi kurir tukang material? Orang-orang ngetawain kamu nggak sepanjang jalan?".

Seharian itu aku ditertawai. Mungkin keluargaku takjub, heran dimana keneradaan urat maluku. Dalam hati, aku lebih baik malu dibanding pulang dengan tangan kosong.

Ya, silakan kalian tertawa juga, ceritaku sudah habis tentang pipa dua meter itu.

Pengalaman lainnya?

Sudahlah, aku lelah. Lagipula hanya sebatas disuruh ambil tang, ambil obeng, atau ambil senter.

Masih ingin tahu pengalamanku lainnya? Tunggu saja di kesempatan lain. Itupun jika ada! Haha

Ingatlah namaku,

Aku Driva, calon diva, anak perempuan ayah.

#829kata

  • Share:

You Might Also Like

0 comments