Review Film Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak

By feranlestari - April 07, 2021

 

Sumber: Windows on World


Judul : Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak
Tanggal rilis : 16 Nopember 2017
Sutradara : Mouly Surya
Penulis naskah : Mouly Surya & Rama Adi
Produser : Rama Adi & Fauzan Zidni
Pemeran : Marsha Timothy, Dea Panendra, Yoga Pratama, Egi Fedly
Durasi : 90 menit
Bahasa : Indonesia
Negara asal : Indonesia

Sinopsis
Suatu hari di sebuah padang sabana Sumba, Indonesia, sekawanan tujuh perampok mendatangi rumah seorang janda bernama Marlina (Marsha Timothy). Mereka mengancam nyawa, harta dan juga kehormatan Marlina dihadapan suaminya, berbentuk mumi, yang duduk di pojok ruangan.

Keesokan harinya dalam sebuah perjalanan demi mencari keadilan dan penebusan, Marlina membawa kepala dari bos perampok, Markus (Egi Fedly), yang ia penggal tadi malam. Marlina kemudian bertemu Novi (Dea Panendra) yang menunggu kelahiran bayinya dan Franz (Yoga Pratama) yang menginginkan kepala Markus kembali. Markus yang tak berkepala juga berjalan menguntit Marlina.

Review
Terutama sekali hal yang membuatku menonton film ini adalah karena film ini santer disebut di twitter. Terlebih dengan pemeran selevel Marsha Timothy, 'ku kira film ini tentu bukan tanpa keistimewaan. Film ini pun tersedia di Netflix. Selagi legal menontonnya, marilah kita sikat.

Film ini terbagi dalam 4 babak, yakni perampokan, perjalanan, pengakuan dosa, dan kelahiran. Sepanjang film ini, perlu diakui bahwa Marlina adalah sosok pemberani. Bagaimana tidak? Ia tinggal sendiri di rumah yang bahkan tanpa tetangga. Para perampok lantas masuk dan melecehkannya. Sungguh terlalu. 'Ku kira Marlina akan membunuh 4 orang berbeda, sehubungan dengan judul film ini, 4 babak. Ternyata, satu pun sudah sulit bukan main.

Film ini terasa lambat, karena mungkin sang sutradara ingin menggambarkan kehidupan yang 'sepi', jauh dari hiruk pikuk ibukota. Tentu saja, film ini bersetting di Sumba yang mana menuju kota saja perlu menumpang truk yang hanya ada setiap satu jam sekali. Vibesnya mirip dengan film Humba Dreams karena mengusung latar tempat yang sama.

Banyak hal yang menggelikan di film ini. Potret masyarakat yang masih jauh dari modernisasi. Ketika melaporkan tindak pemerkosaan tak bisa langsung diproses, atau kepercayaan bahwa ketika bayi tak kunjung lahir menandakan perselingkuhan sang ibu, atau bahkan tindak kekerasan di mana nyawa seolah tak berharga. Dalam hati aku bertanya, "apakah di pedalaman sana, perempuan masih sebatas pemuas nafsu dan mesin beranak?".

Ada sebuah lagu di film ini, yang entah mengapa melodinya terasa menggambarkan potret malangnya hidup Marlina. Ironisnya lagu tersebut selalu dinyanyikan oleh para penyamun biadab. Lagunya dalam bahasa Sumba, btw.

Film ini pada akhirnya cukup happy ending. Setidaknya para penyamun itu hampir lenyap tak bersisa. Tapi, tentu saja yang tinggal tetap merasakan sakit dan trauma, kan? Namun begitu, Marsha Timothy sangat lihai membawakan peran Marlina yang tangguh, pemberani, mandiri, dingin, dan kuat. Pun didukung oleh akting Dea Panendra yang menggambarkan perempuan yang terlihat biasa saja, padahal pada akhirnya berdaya juga.

Akhir kisah pencarian keadilan Marlina dan Novi akhirnya berujung pada penghakiman sendiri. Betul-betul definisi "tak bisa mengandalkan orang lain". Setelahnya, entah apakah Marlina dan Novi dapat hidup bahagia atau tidak.

Setelah menonton film ini, rasanya aku sangat bersyukur terlahir di kota besar. Hidup menjadi lebih mudah. Semoga daerah-daerah pedalaman semakin maju, terakses teknologi, dan semakin modern.

Akhir kata, filmnya bagus sekali mengkritik kehidupan sosial di pedalaman. Dariku untuk film ini: 9/10. Semoga hidup semakin layak dimana pun kita tinggal.

  • Share:

You Might Also Like

4 comments

  1. Saya pernah nonton film Marlina ini di salah satu layanan streaming juga, Hooq kalau tidak salah (sekarang sudah tidak ada). Filmnya emang keren sih. Mulai dari cerita, rasa, sampai sinematografinya juga. Film karya Indonesia yang sangat jarang beredar, kebanyakan sekarangmah genre bucin dan komedi.

    Btw, salam kenal Kak.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hahaha, iya nih, lagi mencoba explore film-film Indonesia yang recommended. Di Viu ada film Indonesia lain yang katanya recommended juga loh. Ada Turah, Siti, dan Kucumbu Tubuh Indahku. Kayaknya menarik~

      Salam kenal juga Kak :DDD

      Delete
    2. Ouh iya, saya juga sering denger judul 3 film itu. Tapi saya gak tau viu, soalnya bukan pengguna Viu. Hehe. Makasih infonya.

      Delete
  2. Udah dari kapan tau aku pingin nonton film ini tapi gak pernah kesampean jugaa. Sekarang masih ada di netflix kah mbak? Huhu mana sayang udh nggak langganan juga😅

    Pertanyaan di atas cukup menarik, "apakah di pedalaman sana perempuan masih dipandang sebatas pemuas nafsu dan mesin beranak?"

    Sadly, yes. Bahkan di daerah tempat tinggalku yang nggak "pedalaman" banget, paham seperti ini masih pakem berlaku di lingkungan masyarakat. Perempuan masih sering dianggap sebagai objek seksual, dilecehkan, digeneralisasikan seolah-olah semua perempuan desa senang kalau digodain:) Karena itu membaca cerita mbak di atas, aku cukup yakin tampaknya film ini memang cukup gamblang menggambarkan kritik sosial yg pedas tentang hak-hak perempuan dan isu sosial yang terjadi. Ah, jadi ingin nonton. Semoga nggak kelupaan lagi🤧 Makasih atas review-nya, mbak!

    ReplyDelete