Tan Malaka: Bapak Republik yang Dilupakan

By feranlestari - February 07, 2021

 


Sejauh ini, belum berhasil menamatkan Madilog hehe. Sepertinya memang perlu menamatkan di waktu weekend. Berhubung masih dalam rangka surfing di iPusnas, mari membaca buku seri Tempo. 


Buku seri Tempo edisi Tan Malaka ini tidak diceritakan dengan runut secara garis waktu. Misalnya saja kisah testamen politik Soekarno pada Tan Malaka yang diceritakan terlebih dahulu sebelum pertemuan Tan dengan Sun Man (Sun Yat Tsen), meski jelas Tan Malaka bertemu Sun Man lebih dulu selama pelarian dalam 20 tahun. 


Tan Malaka tentu adalah tokoh penting dalam terwujudnya kemerdekaan Indonesia, meski beliau bahkan terlambat mengetahui terjadinya proklamasi kemerdekaan oleh Soekarno/Hatta. Buah pemikirannya dalam Massa Aksi secara tidak langsung telah mengilhami para pemuda, termasuk Soekarno dan W.R. Supratman dalam memperjuangkan kemerdekaan. 


Perjalanan politik Tan Malaka dimulai sejak pertemuannya dengan Herman Wouters dan Van der Mij di Haarlem. Proses membaca dan diskusi yang menjadikan Tan menganut paham kiri yang antikapitalis dan antiimperialisme. 


Namun, seperti yang dijelaskan dalam buku seri ini, Tan bukanlah Marxis fundamentalis. Tan adalah Marxis tulen dalam pemikiran, tetapi nasionalis yang tuntas dalam semua tindakannya. Sebut saja pemaparan gamblang Tan tentang perlunya kerjasama antara pihak komunis dan islami dalam mengentaskan imperialisme dan kolonialisme. 


Tentu saja hal itu bertolak belakang dengan paham Komintern yang percaya bahwa islam menganut paham yang sama dengan kolonialisme. Tan boleh saja menganut paham Marxis, berpihak pada kaum proletar, tetapi ia semata-mata mengharapkan terwujudnya kemerdekaan Republik Indonesia. Sebut saja gagasannya di Naar de Republiek Indonesia yang bahkan tercetus sebelum Sumpah Pemuda 1928. 


Tan Malaka adalah sosok yang selalu percaya bahwa perundingan bukan jalan menuju kemerdekaan yang 100%. Menurutnya, revolusi hanya bisa diwujudkan dengan kekuatan massa. Hal ini pula yang membuat Tan kontra akan pemberontakan PKI pada tahun 1926. Kaum proletar saat itu tidak memungkinkan terjadinya kemerdekaan. Pun saat ditawari peran dalam pemerintahan, Tan menolak sebab merasa kemerdekaan Republik Indonesia belum sepenuhnya 100%. 


Gambaran kemerdekaan bagi Tan seumpama burung gelatik yang terancam kucing di dahan rendah, dan terancam elang di dahan tinggi, tetapi digdaya dalam kumpulan, yang mana mampu menjarah padi para petani yang sedang menguning. Baginya merdeka adalah bebas dari ketakutan dan tak menebar teror pada bangsa lain. 


Republik Indonesia, menurut Tan Malaka semestinya tidak menganut paham Trias Politica, tetapi justru mewadahi ketiganya (pencetus, pelaksana, dan peradilan) dalam satu badan. Tentu saja Tan amat kontra dengan sistem parlementer. Baginya, parlementer akhirnya hanya akan memihak penanam modal, alih-alih menyuarakan kaum proletar.


Perbedaan paham politik antara Tan Malaka dengan Mohamad Hatta, Sjahrir, atau bahkan Soekarno, pada akhirnya berujung pada maut. Ironis sekali mengingat Tan Malaka malang melintang selama 20 tahun bergerilya di berbagai negara, tetapi hilang kepala di negeri sendiri.

  • Share:

You Might Also Like

0 comments