Kamu memang masih nomer satu
Aku tahu. Bahkan uangku habis hanya untukmu
Dan sedihnya, aku tak bisa berpaling
Kamu terlalu berharga untuk ditinggalkan
Kamu yang tak dapat kulihat
Tapi selalu kubutuhkan keberadaannya
Tapi selalu kuimpikan kehadirannya
Kamu yang lalu lalang di otakku
Aku yang membayangkan kebersamaan kita
Aku yang selalu memikirkanmu
Meski kamu tak pernah berbuat sama
Yah, aku memang cukup tahu diri dan membuka mata

Kamu masih nomer satu
Meski hatiku mulai mendua
Kepada dia yang lebih bisa menemaniku
Kepada dia yang keberadaannya lebih bisa kujamah
Tapi kamu tetap mengendap di hatiku

Ah, aku terlalu berpikir panjang ya?
Mendeteksi keberadaanmu di hidupku saja sudah cukup sulit
Tapi aku mendamba hidup denganmu
Meski begitu sulit, tapi tunggulah aku
Biarkan hati dan otakku melacak keberadaanmu
Biarkan aku menemukanmu
Biarkan aku meraihmu
Biarkan aku mendapatkanmu
Biarkan aku berjalan di sampingmu
Biarkan aku berjalan menuju padamu

Kamu masih nomer satu
Dan mungkin akan tetap nomer satu
Bisakah kau memberiku kesempatan
Untuk masuk dalam kehidupanmu?
Semoga, kuharap, semoga
Tahun depan kita bersama
Wahai emas hitam dan gas

Hembusan nafasku terdengar lesu. Aku tahu
Wajahku isyaratkan amarah. Aku tahu
Hatiku menimbun kesal. Aku tahu
Licik. Curang.
Beribu kali kudendangkan kata-kata itu
Bertambahlah tumpukan kelelahanku
Haaaaaaah, kesal. Sangat.
Sampai aku tak ingin berucap lagi
Sudah terlalu lama dan terlalu banyak
Dan aku tak bisa mencegah
Bisakah kau mengerti?
Aku benci kecurangan
Aku benci ketidak-adilan
Aku benci contek menyontek


Regards,

Hey, roda berputar lho
Hey, bisa dibawah bisa diatas
Hey, kamu pintar banget sih
Hey, tapi nggak cukup cerdas
Hey, kamu baik sih
Hey, tapi kamu nggak cukup ramah
Hey, kamu kaya sih
Hey, tapi nggak perlu pamer dong
Hey, kamu tinggi sih
Hey, tapi nggak cukup merendah
Hey, terkadang perlu lho
Hey, kamu kuat sih
Hey, tapi terlalu sombong untuk meminta
Hey, kamu melangit lho
Hey, tapi duniaku jauh lebih indah
Hey, tapi aku tak sudi meninggimu
Hey, kamu hebat sih
Hey, tapi nggak cukup lihai memilih
Hey, kesempatanmu banyak lho
Hey, tapi nggak cukup baik digunakan
Hey, kamu cantik sih
Hey, tapi nggak cukup indah
Hey, kamu baik sih
Hey, tapi nggak cukup saya suka

Hatiku melambung mengangkasa
Garudaku terbang melangit
Merah putihku kian kokoh di puncak
Senyumku tiada meredup, kini kian rekah
Akankah kalian mengalami hal yang sama denganku?
Kukira iya, tapi mungkin juga tidak
Dulu aku hanya anak kemarin sore
Mungkin juga hingga kini, aku tahu itu
Tapi setidaknya kini aku lebih mengerti
Dulu aku benci, dulu aku bosan
Ketika peluh kian deras membasuh wajahku
Ketika terik matahari menyerangku, padahal aku ingin melihatnya
Aku benci saat aku harus bersusah payah bernyanyi
Padahal ragaku sudah meminta waktunya
Aku benci saat senin pagi menyita waktuku
Tapi, bukankah pepatah itu benar
Kita sadar saat sudah kehilangan
Kau tahu? Aku rindu itu semua
Aku rindu senin pagiku
Aku rindu merah putihku
Aku rindu Indonesia Rayaku
Aku rindu hormatku
Aku rindu 30 menit yang kini terasa amat berharga
Dan kini, detik ini, menit ini
Merah putihku kembali
Indonesia Rayaku kembali
Merah putihku kokoh kembali
Di ujung tiang tertinggi itu
Bagiku, merah putih dan Indonesia Raya adalah nafas bagi bumi pertiwi
Saat mereka tiada lagi berkibar
Saat mereka tiada lagi berkumandang
Saat mereka tiada lagi bernafas
Hancurlah kita, matilah kita, habislah kita
Bagiku, cukup dengan merah putih aku tersenyum
Bagiku, cukup dengan Indonesia Raya aku bahagia
Cukup dengan Indonesia aku mencinta

Satu saja, kau amat mempesona
Satu saja, kau amat mengagumkan
Satu saja, kau amat gagah
Satu saja, kau terhebat
Satu saja, kokoh sekali
Satu saja, aku terpesona
Satu saja, aku jatuh
Satu saja, aku berharap
Satu saja, aku mati penasaran
Satu saja, aku siratkan kagum
Satu saja, aku ingin berhenti
Satu saja, kau terlalu menarik
Satu saja, dan aku tak kuasa
Satu saja, aku terbang tinggi
Satu saja, aku melayang
Satu saja, bebanku bertambah
Satu saja, aku naik pitam
Satu saja, amarahku memuncak
Satu saja, aku hancur
Satu saja, aku patah
Satu saja, kau tinggalkanku
Satu saja, apakah ini marah atau cemburu
Satu saja, aku tersakiti, lagi
Satu saja, kau hempaskanku
Satu saja, kau tunjukkan dunia nyata
Satu saja, mimpiku luluh lantak
Satu saja, hatiku tercabik-cabik
Satu saja, hatiku pecah belah
Satu saja, penawarnya kau hilangkan
Satu saja, rasanya aku terhempas terlalu sakit
Satu saja, rasanya aku jatuh terlalu dalam
Satu saja, rasanya aku mati rasa
Satu saja, satu impianku sudah hancur

Yahaha, pengen ketawa deh lihat tingkahmu
Kayak cacing kepanasan lho
Kesel, tapi gimana ya, pengen ketawa ngakak
Tingkahmu itu lho, konyol banget deh!
Antara memang bodoh atau memang polos
Polos sama bodoh bedanya tipis lho
Sama kayak benci sama cinta
Sama kayak orang yang kita cinta adalah orang yang paling kita bensi
Aku ngerti sih sama sikapmu
Bahkan mungkin sudah terlalu lama mentolerir
Tapi ya, memang tak tahu diri mungkin ya?
Sia-sia usahaku, kamu terlalu ndablek
Kesabaranku sih yang salah
Suruh siapa juga malah berlimit
Harusnya kan tak hingga ya?
Tapi gimana dong, kamu emang nyebelin
Diam-diam pemberontak diam-diam pengkhianat
Kamu tuh, musuh dalam selimut

Kamu
Semuanya gara-gara kamu, sadarkah?
Irak kacau balau, Saddam Husein digantung mati
Libya berontak, Khadafi dibunuh
Semua karena kelihaian kamu

Kamu yang terlalu banyak, tapi tersebar
Kamu yang tiba-tiba datang seketika
Tapi lebih cepat lagi menghilang
Kamu yang tak pernah kembali

Permainanmu sungguh mengagumkan
Kuacungkan 2 jemari jempolku, hanya untukmu
Kamu itu berharga, tapi licik
Kamu itu menarik, tapi berbahaya

Kamu itu merah, kamu itu api
Di padang ilalang, siap menghabiskan segalanya
Kamu memperkuat, tapi juga melemahkan
Kamu itu kawan, sekaligus lawan

Kamu itu panah api
Siap membakar dan menusuk
Kamu itu bom atom
Kecil tapi besar, kecil tapi hebat, kecil tapi licik

Kenapa kamu datang? Kenapa kamu menghilang?
Semuanya jelas, tapi aku tak mau menerima
Kenapa kamu jahat? Padahal kamu begitu menarik
Dan aku tertarik, sepertinya, kutub kita berbeda

Kamu terlalu berbahaya, tapi aku ingin
Kamu terlalu licik, tapi aku dibuat penasaran
Kamu terlalu berharga, dan aku ingin tahu
Kamu terlalu bersembunyi, dan aku ingin menemukanmu

Kamu itu emas hitam

Mengingat kembali tahun-tahun lalu
Lalu melihat kehidupan nyata
Ah, masih saja belum bisa
Ya, aku tahu, masih saja aku bersalah
Bisakah aku berubah? Mengikuti zaman yang terus bergerak maju?
Bisakah aku berubah? Mengikuti burung yang bermigrasi
Bisakah aku berubah? Layaknya air yang menguap?
Atau layaknya embun yang timbul di pagi hari?
Bisakah aku berubah?

Berat, pikulan itu masih terlalu berat
Hatiku masih saja terlalu rapuh
Padahal, kukira hatiku bisa saja berubah jadi besi
Tetap saja masih teratai yang terombang-ambing di lautan
Kukira aku akan hancur
Atau setidaknya hatiku tak bersisa
Aku tak kuasa, aku tak kuasa
Aku ingin seperti yang kalian inginkan

Aku ingin jadi apa yang kalian harapkan
Tapi aku ya aku
Inilah aku
Sebegituburuknyakah aku
Hingga harus terus tersakiti?
Aku tak ingin bicara
Karena aku percaya
Kamu orang yang peka
Kamu orang yang merasa
Karena aku percaya
Kita cukup baik untuk saling mengerti

Bisakah aku berubah?
Bisakah aku mendapat yang lebih baik?


Regards,

Siapa bilang sih kamu yang terbaik?
Siapa bilang kamu yang terhebat?
Bagi saya, kamu tuh pembual besar

Butuh orang lain, tapi nggak mau berkorban
Mau ditolong, nggak mau nolong
Mau menang, nggak siap kalah
Kamu pikir kamu ratu?
Bagi saya, kamu pembual

Satu kata mungkin cukup, antisosial
Ansos. Itulah kamu
Pembual yang ansos
Nyadar nggak sih?

Kejar tuh cita-cita
Kejar tuh segala macem duniawi
Kejar tuh pendidikan kamu
Tapi kok tetep ndak baleg ya?
Abnormal tuh. Makin tinggi tapi makin ndablek
Bagi saya, kamu pembual besar

Kerjain tuh semua tugas-tugas kamu
Saya nggak peduli dan nggak mau peduli
Mau kamu lulus cumlaude atau bahkan dapet nobel
Dimata saya, kamu cuma pembual besar

Kejar tuh universitas-universitas top
Tapi bahkan berbagi ilmu aja kamu nggak sudi
Kamu pikir saya sesudi itu
Untuk menganggap kamu hebat? Nggak!
Bagi saya, kamu tuh pembual besar

Bagi saya, apapun itu, nggak penting
Semua tugas numpuk, itu salah kamu
Tapi yang pasti berbagi ilmu itu penting
Apa ruginya sih buat kamu?
Nggak akan jadi melarat juga!
Apalagi sama orang yang ngebagi kehidupannya demi kamu!


Regards,

Lagi, lagi, dan lagi
Harusnya berlalu begitu saja, tapi sulit
Semuanya, terlalu jelas untuk dilupakan
Terlalu lama untuk dianggap tak pernah ada
Terlalu bermakna untuk dianggap tak penting
Terlalu indah dan terlalu bagus untuk disepelekan
Dan aku menyia-nyiakan semuanya
Sedih, kecewa, marah. Hanya itu
Tiada lagi yang bisa kukatakan
Hanya itu. Terlalu banyak yang terasa
Hingga mungkin kata-kata saja tak cukup
Ah, aku terlalu mementingkan ego dan emosi. Kuakui itu
Dan kini, terasa begitu sakit disini. Di dadaku
Kukenang lagi masa-masa itu. Hanya sakit yang terasa
Kuingat lagi ruangan megah itu
Masih kuingat betapa bahagia dan beruntungnya aku
Masih kuingat perjalanan-perjalanan itu
Masih kuingat masa-masa itu
Terekam jelas dalam kepalaku
Tapi, apalah mau dikata?
Bukankah dulu aku mendua?
Bukankah dulu aku mencaci?
Bukankah dulu aku ingin bebas?
Dan kini aku merindunya lagi?
Hah, inilah balasannya. Balasan untukku
Atas ego, amarah, dan kekanak-kanakanku
Atas ketidakkonsistenan diriku
Atas apa yang kuputuskan tapi tak ku pegang teguh
Atas apa yang kupilih tapi tak dapat kupertahankan
Hanya satu yang ingin kuungkapkan
Aku merindumu dan aku merindukan saat-saat kita bersama
Aku merindumu dan berat tubuhmu
Aku merindumu dan suaramu
Aku merindumu dan goyangan tubuhmu
Aku merindumu dan saat-saat aku memainkanmu
Aku merindumu, sungguh merindumu
Kini, hanya satu yang dapat kulakukan
Berdoa agar suatu hari nanti
Tekadku masih bulat dan masih berpijak kokoh di hatiku
Semoga nanti aku kembali merengkuh dirimu
Membuat kita terlarut dalam melodi indah itu
Membuat kita menyatu kembali dalam harmoni

Masih terhitung dengan jari
Waktu-waktu pertemuan kita
Jam, menit, detiknya pun
Masih terhitung dalam kalkulator
Tapi kereta harus tetap berjalan kan?
Inginnya sih shinkansen atau MRT
Tapi bahkan kereta nasional pun tak mampu
Inginnya sih aku melalap habis-habis dirimu
Tapi apadaya, aku tak sanggup
Aku hanya bisa melahap satu per satu
Sedikit demi sedikit, waktu ke waktu
Tapi apakah waktu 'kan menantiku?
Bahkan frekuensi pertemuan kita saja berlimit
Limit. Ya, dan aku benci limit
Terutama limit dalam hal seperti ini
Aku inginnya bebas. Bebas. BEBAS!
Aku inginnya kita berjumpa tiap waktu
Aku inginnya terus disampingmu
Aku inginnya bersatu denganmu
Mengerti dirimu, keadaanmu, karaktermu, kepribadianmu
Segala seluk beluk tentangmu
Aku ingin tahu semuanya!
Aku inginnya kita saling melengkapi
Merajut ikatan kuat layaknya ikatan hidrogen
Tapi mau bagaimana bisa
Kalau kita saja lama tak bersua?
Bagaimana mampu?
Jadi kumohon teramat sangat, sempatkanlah waktumu
Sempatkanlah untuk bersamaku
Habiskan sepanjang waktu bersamaku
Mari hidup bersamaku, mulai detik ini, kumohon

Hahahahahahahahahaha
Negeri apa ini?
Antah berantah
Sudah tak kukenal lagi
Bukan yang dulu

Bukan yang dulu kubanggakan
Bukan yang dulu kualami
Bukan yang dulu kutelaah
Bukan yang dulu kukenyam

Hahaha, permainan macam apa ini?
Masa depan digadai kesenangan semu
Keuntungan duniawi
Sekecil itukah harganya?

Hahaha, alunan melodi terdengar dimana-mana
Hampir setiap celah jalanan
Lantas untuk apakah semua lagu itu berdendang?
Hanya untuk mendatangkan pundi-pundi emas?

Ah, sulit, terlalu sulit
Aku hanya bisa terdiam
Hanya tertawa miris, semiris-mirisnya
Memang bisa apa?

Roda terus berputar, waktu terus berjalan
Kini, semuanya bagai pembalikan
Kontradiksi

Bahkan kawan,
Cobalah dengarkan alunan musik itu!
Indah memang, alunan musiknya padu nian
Tapi maknanya tiada sarat
Hampir tak ada

Lantas, mau jadi apa negeri ini?
Mau jadi apa bangsa ini?
Mau jadi apa kita?
Mau jadi apa masa depan kita?