[10] Centang Biru - A Perspective

By feranlestari - May 10, 2020

Di dunia yang hingar bingar ini, hal kecil pun bisa tetiba menjadi dahsyat. Tak terkecuali perkara bertukar pesan.

Tahun 2000-an, mempunyai telepon genggam adalah sebuah kemewahan. Siapa sangka kita bisa bertukar pesan secepat itu, saat aku bahkan harus ke wartel untuk menelepon saudaraku yang jarak rumahnya bahkan tidak sampai 5km?

Jaman berganti, bertukar pesan via SMS pun menjadi lumrah dan memang sangat membantu dalam kehidupan bersosial. Manusia memang sebutuh itu bersosialisasi, hingga sekarang teknologi video call saja sudah sangat kental di kehidupan sehari-hari, terutama bagi anak rantau.

Dewasa ini, siapa sih yang tidak punya akun whatsapp? Dengan segala kemudahannya, baik sejak registrasi hingga kesederhanaan fitur aplikasinya yang sangat tepat guna, tak pelak menjadikannya sebagai must-to-have-messenger-application.

Tapi, akan selalu ada kontroversi dibalik segala sesuatu yang menghubungkan banyak orang. Tepat, tentu mengenai read-receipt.

Apakah kalian merasa dibohongi ketika kawan kalian tidak menyalakan centang biru?

Well, aku pun kecewa, pada awalnya. Tapi tidak berpikir bahwa aku sedang dibohongi. Bahkan sedikit pun tak terpikirkan. Tidak, sebelum aku membaca artikel tentang 'haramnya' mematikan centang biru.

Aku hanya berpikir, bahwa setiap orang punya cara masing-masing untuk tidak menyakiti orang lain, tanpa menyakiti diri sendiri.

Selalu ada manusia sepertiku yang mungkin saking gabutnya, aku akan membalas pesanmu kurang dari 1 menit. Tapi juga akan selalu ada manusia super sibuk yang seringkali 'skip' membaca pesan. Dan mungkin, bagi mereka mematikan centang biru adalah sebuah upaya untuk menjaga hati orang lain.

Mengetahui pesan dibaca, tapi tak berbalas, dalam konteks butuh jawaban, adalah hal yang cukup mengenaskan. Merusak mood. Suatu waktu aku bahkan mengutuki keberadaan fitur know-who-read-your-message itu.

Padahal, kita tidak tahu apa yang terjadi padanya nun jauh di sana. Setiap orang punya prioritas masing-masing. Dan kita tidak bisa memaksa dijadikan sebagai P-1.

Bila aku menempatkan diriku sebagai dirinya, aku setuju bahwa akan lebih baik membiarkan orang lain berfantasi dengan segala asumsi dibandingkan menyakitinya. Pun diriku sebagai penerima pesan, lebih nyaman berfantasi dengan segala imajinasiku, dibandingkan menyadari dengan jelas bahwa I am being ignored. Walaupun pada kenyataannya tidak selalu mereka sengaja mengabaikanku.

Perkara hati itu memang semudah itu terluka kok. Jadi, alih-alih merasa dibohongi, aku lebih suka anggapan, mari saling menjaga hati dan menghargai segala keputusan orang lain.

Kalau memang butuh jawaban dengan cepat, lebih baik berkomunikasi via telepon agar tidak memunculkan mispersepsi. Lagipula, kita pernah baik-baik saja hanya dengan bertukar pesan via SMS yang bahkan tidak tahu betul-betul terkirim atau tidak. Lantas kenapa sekarang kita menuntut agar setiap pesan harus berbalas?

Menjaga hati itu perlu, maka pahami juga orang lain. Memahami hanya diri sendiri hanya akan menyakiti orang lain. Tapi memahami diri sendiri dan orang lain menuntun kita menuju hidup yang jauh lebih tentram.

After all, ignorance is a bliss.

  • Share:

You Might Also Like

0 comments