Kenangan dan Makna di Dalamnya

By feranlestari - December 06, 2017

Hari ini, aku mendengar lagu dangdut YKS, entah apapun itu judulnya. Aku lupa. Yang kuingat hanyalah kenangan yang terasosiasikan dengan lagu itu. Lagu yang dipakai oleh himpunanku jaman arak-arakan wisuda tahun 2013 lalu. Ketika itu, aku bahkan masih diospek, walaupun malamnya aku lantas dilantik menjadi anggota biasa. Ketika otakku bekerja cepat dan aku sadar bahwa sudah 4 tahun berlalu sejak saat itu, tergeraklah aku untuk menuliskan ini.

Ketika sedang tak ada kerjaan begini, aku selalu merasa hal hal yang baru saja kuingat, subset dari semua kenangan yang kumiliki, seperti baru terjadi kemarin sore. Bahkan ketika aku ingat aku pernah membeli makanan seharga Rp.100 dengan selembar uang Rp.1000 tanpa meminta kembalian sepeserpun (jangan salah, aku bahkan sudah bisa berhitung saat itu, hanya saja entah kenapa sulit sekali melakukan operasi mata uang), rasanya seperti baru saja terjadi.

Waktu ini, perasaan dan otakku menayangkan ulang rekaman kenangan-kenangan itu. Dimulai dari arak-arakan, wisudaan, kemudian saat ini setelah hampir 1 tahun aku bekerja. Rasanya waktu cepat sekali berlalu. Tapi aku juga tercekat, terkejut bahwa aku mampu merasa seperti ini, mengingat awal tahun ini, selama tiga bulan masa percobaanku, ironisnya aku meminta pada Allah semoga waktu cepat berlalu. Aku, dengan putus asanya berdoa agar aku cepat cepat menyelesaikan tiga bulan itu, dan kalau perlu tak usah lulus sekalian. Ketika itu aku sangat tidak kerasan, karena belum mengerti apa yang bisa aku kerjakan. Semuanya terasa sulit dan rumit. Jadilah waktu bekerja 8 jam sehari rasanya seperti menunggu Idul Fitri.

Yang ingin kutuangkan, yaitu kenyataan bahwa kondisi selalu mengubah cara pandang. Setidaknya itu menurutku. Ketika mengenang masa lalu, bagiku waktu bergulir cepat. Sebaliknya, ketika menunggu, rasanya waktu berhenti tanpa aku juga berhenti merasa, rasanya menyebalkan. Di sisi lain, aku menyadari bahwa memang benar istilah waktu menghapus segalanya, menghapus kesedihan masa lalu. Tapi setelah kupikir ulang, sepertinya benar juga bahwa bukan waktu yang menyembuhkan luka, hanya saja manusia yang berubah. Kita, manusia, belajar dari apa yang telah kita lalui. Bukan waktu yang menyembuhkan, tapi kita yang memutuskan bahwa kita akan menutup luka itu, menambalnya dengan kesenangan-kesenangan lain.

Ketika akhirnya aku bertahan di pekerjaanku saat ini, aku pikir aku cukup tahan banting ya ternyata, -sebagai informasi, pekerjaanku adalah sesuatu yang cukup berbeda dari apa yang kupelajari selama kuliah-. Tapi setelah kupikir pikir, entah itu karena memang aku cukup tahan banting, atau karena aku takut mengundurkan diri ya? Sudah rahasia umum kan, kalau mencari pekerjaan itu susah. Hanya saja, waktu itu yang kuingat atasanku pernah memberi wejangan pada kami, yang intinya adalah "apa yang kalian anggap sebagai rintangan dan kalian tidak suka itu, bisa saja menjadi hal yang akan mengantarkan kalian ke jenjang karir yang lebih tinggi". Tentu tidak terbatas pada dunia pekerjaan saja, tapi ini berlaku juga di seluruh aspek kehidupan.

Jadi, kupikir, mari kita berusaha sekuat tenaga. Aku tahu ini pasti sulit, tapi bagi manusia, tidak ada cara lain untuk tetap hidup, kecuali dengan bertahan terus berusaha, kan? Kita tidak mungkin berdiam diri dan berharap hidup akan menjadi mudah, kan? Biarkan segala luka yang ada membuat kita menjadi lebih kuat!

  • Share:

You Might Also Like

0 comments