Tahun ini, ibuku resmi menjadi ibu selama 30 tahun. Tapi hari ini, 7 Maret 2021, aku masih saja takut menjadi seorang ibu. Bagaimanakah rasanya? Terlebih bila menjadi ibu dari anak yang berbeda? Seberapa pantas dan seberapa tangguhkah aku nanti?
Taare Zameen Par. Bagaimana pun anakku kelak bila terlahir, aku sungguh berharap mampu menjadi ibu terbaik bangsa baginya.
Bila nanti kamu terlahir, Nak, ibu harap bisa memahamimu dengan sempurna. Bila nanti kamu melihat ibu, Nak, ibu harap ibu adalah sosok yang kamu banggakan.
Dulu ceritanya sok-sok-an pertama kali ke Kinokuniya. Abis itu merasa tertantang baca novel bahasa Inggris haha. Kemudian impulsif beli novelnya Sue Fortin. Berikut penampakannya.
Seperti kutipan pertama di buku ini, yang membuatku deg. Memang harus pandai-pandai mencari jalannya syukur ya :DD Jangan gagal melihat hal positif di hidup kita. Tidak boleh menyerah akan diri sendiri 😊
Seperti yang Dee sampaikan selanjutnya, "Hanya engkau yang berhak ada di dalam inti hatimu sendiri". Otomatis teringat dialog di drama Run On yang kira-kira isinya: "aku akan membersamai diriku sendiri dalam durasi yang paling lama. Maka dari itu, aku harus mampu berdamai dengan diriku sendiri". Yes, bahagia memang tidak bisa sendiri, tapi dimulai dari diri sendiri :D
Semua prosa di buku ini, rasanya cukup mencubit hatiku. Dan aku amazed bagaimana kejadian kecil yang bahkan terasa sangat insignificant bisa menjadi prosa bermakna di tangan Dee. Ada lagi kisah yang mana Dee mampu menjabarkan perbedaan para tokohnya secara implisit. Membuatku menebak-nebak kisahnya, kemudian mendapati akhir yang plot twist! Wow, daebak! Walaupun begitu, 1 jam adalah 60x60x1000 ms. Sebagai perfectionist, I found this annoying ✌
Membaca Filosofi Kopi, aku dibawa menjelajahi kehidupanku sendiri, kemudian dibuat terkagum-kagum, lantas dikagetkan dengan akhir yang naas, tapi masih ada rasa lain yang timbul di akhir buku ini. Humor! Tidak menyangka selera humor Dee cukup match denganku. Buktinya aku dibuat tertawa tak henti membaca Rico de Coro hahaha. Hampir lengkap sudah emosi yang ditimbulkan akibat membaca buku ini, kecuali menangis hehe.
Ingin membuktikan sendiri? Silakan baca Filosofi Kopi sesegera mungkin! Berikut spoiler kutipan-kutipan yang berkesan bagiku.
Dari covernya aja, udah wah banget. Judulnya Kekasihku, covernya abstrak, garis-garis saling bertabrakan. Memang, bicara tentang cinta tentu saja bicara tentang ketidakteraturan. Siapa juga sih yang kisah cintanya adem ayem ya kan? Haha.
Dengan kemampuan interpretasi puisi yang sangat pas-pasan ini, 'ku mulai membaca. Dimulai dari Pacar Senja yang aduhai membuatku takjub. Kok bisa ya senja digambarkan sebagus ini :DDD Lanjut ke Dua Orang Peronda yang sungguh bikin kalut dan kesal. Cinta memang bisa jadi permainan super gila. Ada lagi Malam Pertama yang sungguh kocak. Judulnya sungguh memikat gini.
Ada potongan puisi di Koran Pagi yang wow sekali. "Koran pagi masih mengepul di atas meja. Ke suaka ingatan mereka hijrah". Duuuuuh kenapa bagus banget diksinya. Aku jatuh cinta!!! Ada puisi Tiada yang langsung bikin hati jadi nggak keruan. Kasih sayang sungguh adalah core kehidupan.
Ada lagi puisi Baju Bulan yang diksinya "Atap paling rindang bagi yang tak berumah dan tak bisa pulang". Duh, nyes banget Gustiii :(((( Atau puisi Dengan Kata Lain yang endingnya cukup wow, plot twist tapi nggak plot twist. Keren! Terakhir, ada puisi Kosong yang sungguh menggambarkan tentang kesepian. Why,,,
Lembar demi lembar, semakin 'ku baca semakin sadar kalau puisi itu nggak harus mengandung majas. Tapi puisi itu harus punya makna walaupun tidak menggunakan majas secara eksplisit. Sulit menjelaskan rasanya, memang harus baca buku semacam Kekasihku ini hehe.
Walaupun selama paruh akhir buku, otakku sudah mengepul rada kurang nyampe, overall aku suka sensasi membaca buku ini. Well, baca buku puisi tidak seburuk yang aku bayangkan. Mari kita belajar membaca puisi :DDD
Cinta itu tidak abadi
Cinta itu butuh usaha
Tidak ada yang namanya cinta sejati
Hanya ada dua wujud cinta
Nafsu,
atau komitmen
Sejauh ini, belum berhasil menamatkan Madilog hehe. Sepertinya memang perlu menamatkan di waktu weekend. Berhubung masih dalam rangka surfing di iPusnas, mari membaca buku seri Tempo.
Buku seri Tempo edisi Tan Malaka ini tidak diceritakan dengan runut secara garis waktu. Misalnya saja kisah testamen politik Soekarno pada Tan Malaka yang diceritakan terlebih dahulu sebelum pertemuan Tan dengan Sun Man (Sun Yat Tsen), meski jelas Tan Malaka bertemu Sun Man lebih dulu selama pelarian dalam 20 tahun.
Tan Malaka tentu adalah tokoh penting dalam terwujudnya kemerdekaan Indonesia, meski beliau bahkan terlambat mengetahui terjadinya proklamasi kemerdekaan oleh Soekarno/Hatta. Buah pemikirannya dalam Massa Aksi secara tidak langsung telah mengilhami para pemuda, termasuk Soekarno dan W.R. Supratman dalam memperjuangkan kemerdekaan.
Perjalanan politik Tan Malaka dimulai sejak pertemuannya dengan Herman Wouters dan Van der Mij di Haarlem. Proses membaca dan diskusi yang menjadikan Tan menganut paham kiri yang antikapitalis dan antiimperialisme.
Namun, seperti yang dijelaskan dalam buku seri ini, Tan bukanlah Marxis fundamentalis. Tan adalah Marxis tulen dalam pemikiran, tetapi nasionalis yang tuntas dalam semua tindakannya. Sebut saja pemaparan gamblang Tan tentang perlunya kerjasama antara pihak komunis dan islami dalam mengentaskan imperialisme dan kolonialisme.
Tentu saja hal itu bertolak belakang dengan paham Komintern yang percaya bahwa islam menganut paham yang sama dengan kolonialisme. Tan boleh saja menganut paham Marxis, berpihak pada kaum proletar, tetapi ia semata-mata mengharapkan terwujudnya kemerdekaan Republik Indonesia. Sebut saja gagasannya di Naar de Republiek Indonesia yang bahkan tercetus sebelum Sumpah Pemuda 1928.
Tan Malaka adalah sosok yang selalu percaya bahwa perundingan bukan jalan menuju kemerdekaan yang 100%. Menurutnya, revolusi hanya bisa diwujudkan dengan kekuatan massa. Hal ini pula yang membuat Tan kontra akan pemberontakan PKI pada tahun 1926. Kaum proletar saat itu tidak memungkinkan terjadinya kemerdekaan. Pun saat ditawari peran dalam pemerintahan, Tan menolak sebab merasa kemerdekaan Republik Indonesia belum sepenuhnya 100%.
Gambaran kemerdekaan bagi Tan seumpama burung gelatik yang terancam kucing di dahan rendah, dan terancam elang di dahan tinggi, tetapi digdaya dalam kumpulan, yang mana mampu menjarah padi para petani yang sedang menguning. Baginya merdeka adalah bebas dari ketakutan dan tak menebar teror pada bangsa lain.
Republik Indonesia, menurut Tan Malaka semestinya tidak menganut paham Trias Politica, tetapi justru mewadahi ketiganya (pencetus, pelaksana, dan peradilan) dalam satu badan. Tentu saja Tan amat kontra dengan sistem parlementer. Baginya, parlementer akhirnya hanya akan memihak penanam modal, alih-alih menyuarakan kaum proletar.
Perbedaan paham politik antara Tan Malaka dengan Mohamad Hatta, Sjahrir, atau bahkan Soekarno, pada akhirnya berujung pada maut. Ironis sekali mengingat Tan Malaka malang melintang selama 20 tahun bergerilya di berbagai negara, tetapi hilang kepala di negeri sendiri.