Tema : Random Pages

"Bila kamu meninggalkan ruangan dan tidak ada orang lagi di situ, matikan lampunya."

Di rumah, aku acapkali ditegur ayah atau ibu karena lupa mematikan lampu kamar mandi atau kamar tidur. Atau lupa mematikan keran air ketika keluar kamar mandi. Sebaliknya, di rumah kosan, aku termasuk orang yang kesal jika temanku lupa mematikan lampu kamar mandi. Menurutku itu termasuk pemborosan energi, meski mungkin tak seberapa.

Selain tentang energi, menurutku mematikan lampu ketika meninggalkan ruangan itu adalah salah satu tata krama. Umumnya kamar mandi perlu ditutup agar aromanya tak tersebar keluar. Nah, bagaimana kita membedakan apakah kamar mandi itu tengah digunakan atau sedang kosong, bila lampunya terus menyala 24 jam?

Hal-hal kecil seperti mematikan lampu dan menutup pintu ketika meninggalkan ruangan akan memupuk kebiasaan disiplin, membiasakan hemat energi dan tertib menggunakan barang dan/atau jasa. Selain itu, secara ekonomi pun kebiasaan ini akan mengurangi biaya listrik bulanan, mengingat tarif listrik saat ini cukup mahal.

Kesimpulannya, banyak manfaat dari mematikan lampu ketika meninggalkan ruangan, tentu jika ruangan itu sudah tidak digunakan kembali. Jadi, jangan lupa matikan lampu ya!

Tema : The (plastic) World We Live Today

Hampir setiap hari aku membeli makanan di warung nasi Tegal. Dan hampir selalu dibungkus. Tak ayal, sampah plastikku menggunung. Aku bahkan tak perlu repot-repot menyediakan tempat sampah. Cukup aku gantung keresek di gagang pintu. Tunggu semalaman, kemudian esok paginya kubuang keresek berisi sampah tersebut ke tempat sampah depan kosan.

Ya. Itulah aku. Satu di antara milyaran manusia penyumbang sampah plastik. Aku termasuk kepada sekian persen masyarakat yang rutin menyumbang sampah plastik setiap hari.

Sungguh, bukan aku tak mencintai lingkungan. Setidaknya aku masih membuang sampah ke tempat sampah. Tapi amat sulit menghindari menggunakan plastik. Terutama ketika membeli makanan, sebab aku jarang sekali memasak. Mungkin jika aku rajin memasak, permasalahan ini akan mudah terselesaikan, atau setidaknya cukup mengurangi jumlah plastik yang kugunakan.

Meski begitu, saat ini aku masih belajar untuk terus mengurangi jumlah sampah plastik. Tapi aku tidak membeli stainless straw. I prefer using no straw. Aku masih berusaha membawa botol minum ke manapun.

Satu hal yang kusadari belum aku lakukan adalah menggunakan tas ketika berbelanja. Seharusnya aku selalu sedia tas lipat agar saat berbelanja tidak perlu membeli keresek. Suatu hari aku pernah berbelanja di minimarket, dan karena mereka sudah tidak memberikan keresek gratis, akhirnya seluruh belanjaan aku tenteng hingga ke tujuan. Sangat tidak efisien.

Menurutku, ada dua hal yang bisa kita lakukan mengenai plastik ini. Gunakan kembali atau kurangi pemakaian plastik. Silakan pilih salah satunya.

Jika dalam masalah keresek, aku lebih memilih mencoba mengurangi penggunaannya, namun ada juga kasus dimana aku akan menggunakan kembali plastik tersebut. Beberapa kali ketika aku membeli makanan via aplikasi ojek online, aku mendapatkan sendok dan garpu plastik. Untuk benda semacam ini, aku akan memilih menggunakan kembali. Sungguh, aku pun masih terus belajar memraktekkannya.

Semua hal dimulai dari diri sendiri, dan juga bertahap. Ayo sama-sama belajar dan tidak saling menghujat, tapi saling mengingatkan untuk mengurangi penggunaan plastik 😁

Dilahirkan, sekolah, bekerja, menikah, punya anak, mengurus keluarga, menikmati masa tua, kemudian meninggal. Hidup bahagia mati masuk surga. Mudah terucap sulit dilaksanakan.

Banyak sekali hal yang sulit diterima dalam hidup. Terlalu banyak hal terjadi diluar harapan manusia. Kita sebut saja, takdir tak sejalan inginku.

Sejak dulu hingga kini, banyak kejadian membuatku berangan-angan, "Kenapa aku terlahir?" "Kenapa aku terlahir di keluarga ini?" "Kenapa ayah ibu begini?" "Kenapa ayah ibu begitu?".

Sudah barang tentu aku tak memperoleh jawabnya. Meski sampai akhir hayat. Pertanyaan lazim yang sering dipertanyakan setiap manusia, padahal jelas-jelas kita tahu tak akan mendapat jawabnya. Mengapa manusia selemah itu ya?

Ketika akhirnya aku sampai di fase hidup dimana perlu memikirkan spesifikasi calon pasangan hidup, aku kemudian menyadari bahwa manusia, pun termasuk aku, terlalu serakah.

Aku selalu ingin karakter keluarga yang mengerti aku, terlebih orang tua. Tapi kan sebetulnya, tidak ada sekolah untuk menjadi ayah dan ibu kan? Tidak ada standar terukur untuk menjadi ayah dan ibu yang siap 'kerja'.

Menjadi orang tua, mungkin adalah proses trial & error seumur hidup. Jadi kenapa aku meminta lebih saat aku tahu ayah ibu pun sedang belajar?

Jangan kira aku tak kontradiktif. Aku juga terkadang mempertanyakan, "Kenapa manusia nekad memiliki anak ketika tak sanggup belajar seumur hidup?" "Kenapa tidak pakai pengaman kalau memang tak mau jadi orang tua?" "Kenapa seegois itu sih?".

Tapi kemudian temanku mengingatkan bahwa menjadi orang tua itu terjadi karena memang sudah waktunya. Kembali ke konsep takdir.

Ketika terlalu mengeluh tentang orang tua, maka semakin pesimis pula manusia terhadap pernikahan dan bereproduksi. Kuyakin itu. Experience is the best teacher after all.

Satu pelajaran yang betul-betul perlu dihayati adalah, kita harus selektif dan cerdas memilih pasangan hidup. Pernikahan bukan tentang diri sendiri dan si dia, tapi tentang anggota keluarga lainnya juga tentang anak-anak kita nantinya. Salah memilih di awal, efeknya domino hingga beberapa generasi selanjutnya.

Maka dari itu, mari nikmati hidup, tak perlu tergesa-gesa. Lakukan segalanya di waktu yang tepat dan dengan pertimbangan.

Hai! Hello 2019 😁

30 Hari Menulis edisi 2019 ini adalah seri kedua bagiku. Ndak muluk muluk, aku hanya ingin menulis. Resolusi tahun lalu, ingin merutinkan menulis dimulai dari 30HM 2018, berujung wacana belaka. Jadi, aku memutuskan melanjutkan mengikuti program 30HM lagi.

Rasanya baru kemarin aku mengikuti program 30HM 2018. Tapi ternyata sudah banyak hal berlalu sejak saat itu, dan aku menyesal tidak sempat menuliskannya. Meskipun tidak ada yang membaca, tapi memang blog ini akhirnya aku jadikan sebagai diary berjalan. Karena kecepatan mengetik jauh lebih cepat dibanding kecepatan menulis tangan.

Resolusi pribadiku di 30HM 2019 ini, aku ingin sekali bisa lengkap menyetor tulisan di setiap harinya. Meskipun masih ada beberapa tema yang cukup membuatku bingung, rasanya bisa jadi tantangan tersendiri bagiku. Tahun lalu, karena ada kesempatan untuk bolos, maka di hari-hari tertentu khususnya dengan tema tak terbayangkan, acapkali aku lalai setor tulisan. Di sisi lain, aku berharap tulisanku lebih halus, mengalir dan betul-betul bercerita. Semoga tak ada lagi tulisan tidak jelas, ngalor-ngidul tanpa makna yang berarti.

Tak ada jawaban yang signifikan untuk pertanyaan "mengapa aku harus menulis?". Sebelumnya, ketika SMA dulu temanku pernah mengatakan bahwa tulisanku bagus. Mungkin itu sebabnya dulu aku memutuskan membuat blog ini. Dulu rasanya ingin sekali blog ini dikunjungi oleh banyak orang. Tapi saat ini, aku hanya ingin menulis, tak peduli apakah hasilnya akan memuaskan orang lain atau tidak. Jika ya, aku bersyukur. Jika pun tidak, setidaknya aku mampu menyalurkan apa yang kupikirkan tapi tak sanggup kukatakan.

Banyak hal telah aku sesali dalam hidup ini. Kerapkali aku merasa tak ada karya yang cukup indah yang telah aku hasilkan. Terkadang aku berpikir, apa yang akan aku tinggalkan kelak ketika tiba waktunya pergi? Bukti apa yang mampu membuktikan bahwa aku pernah ada? Satu satunya yang terpikirkan adalah blog ini. Blog ini adalah bukti bahwa aku pernah ada di dunia ini, hidup di antara milyaran manusia.

Aku bersyukur menemukan program 30 Hari Menulis ini. Dia adalah satu yang timbul di antara beragam alasan yang tenggelam untuk kembali menghidupkan blog ini.

Jadi, mari kita mulai 30 Hari Menulis ini 😁

 Karena hidup itu tentang jatuh dan bangun, serta tentang datang dan pergi

Kemaren ceritanya ikutan BNI ITB Ultra Marathon 2018, ikut timnya Bang Iot, Pinish duluaN haha. Kebagian jadi pelari ke 9, mulai dari Melrimba Garden sampe Sangga Buana Hotel & Bungalow.

Sebetulnya ikutan ultra marathon murni karena ngiri liat tim ladies FTMD yang ikutan seri 2017 dan pengen nunjukkin kalo aku juga bisa lari 10km. Yah, butuh target kan biar kepaksa latihan hehe.

Karena sadar diri, dulu lari 6 keliling saraga aja tepar, akhirnya ikut Synergy Run 2018 dulu yang 5 km. Sampe sebelum hari H Synergy Run, aku baru satu kali lari sejauh 5 km. Modal nekat emang.

Abis itu baru mulai latihan lari 10 km. Di Jakarta sih yang enak latihan di GBK, trotoarnya gedee. Tapi ya gitu, di Jakarta susah cari track lari yang nanjak. Berhubung modal nekat lagi, sampe sebelum hari H cuma latihan lari 10 km sebanyak 3x hehehe.

Pas hari H, berhubung tidak well prepared, rada shock juga liat track larinya haha. Alhamdulillahnya masih kebagian track lari yang mudun. Kalo full nanjak, bisa pingsan tengah jalan itu, atau minimal lewat COTnya.

Awal lari semangat banget! Haha. Dari awal udah dikasih tahu Luqman tracknya bakal nanjak dulu dikit, terus turunan rada curam. Jadi pas nanjak di awal, larinya ku pelanin, biar kuat. Pas mudun, mikirnya 'yaudah pake gravitasi aja ya, tahan-tahan dikit'. Sempet ngeloss juga sih sebagian. Lama-lama kakiku sakit ngehentak terus pas turunan haha.

Tiba tiba, di tengah-tengah perjalanan ada tanjakan lagi dong! Abis tanjakan itu tepar asli! Turun lagi. Eh, pas mau finish malah ada tanjakan lagi Gustiii haha. Ada orang yang ngasih tahu "dikit lagi tuh". Tapi kok kalo diliat-liat WSnya nggak keliatan mulu haha 😂

Saking capenya dan penasaran, tengah jalan sempet-sempetnya buka hp demi liat GPS, berapa kilo lagi sih menuju WS? Haha. Lagi fokus lari, tali tasku malah copot -,- pas finish udah ga jelas bentuk tasnya haha

Sepanjang Ultra Marathon ini keliatan banget tim lain tuh well prepared banget!!! Banner, tim support, keren keren lah pokoknya. Adu gengsi antar angkatan, jurusan, dan himpunan wkwk

Kalo ditanya mau ikut lagi apa nggak, mau banget! Tapi cukup relay 16 aja haha, belum sanggup kayaknya kalo relay 8 ke atas. Fokus tanjakan turunan we lah.

Yosh! Semoga ini awal untuk hidup yang lebih sehat, olahraga bisa dirutinin. Lari ini olahraga paling 'murah' dan gampang berhubung bisa dilakukan sendiri. Senam juga bisa sih, tp bukan aku banget. Cuma bisa roll depan haha.

Btw, kalo cuma ingin lari, aku sebetulnya nggak saranin ikut event, sayang duitnya hehe. Kalo mau lari, cari tempat yang enak dan bertahap. Jangan harap ga pernah 5 km mau langsung bisa 10 km. Mungkin ada yang bisa, tapi ya nggak disaranin banget, shock ntar badannya. Jadi, yuk latihan lari ☺

Tidak bisa semua orang berada dalam jalan yang sama, berpikir hal yang sama. Mustahil.

Dulu, orang orang mengantuk ketika ngaji itu biasa. Kami maklum, karena kami tahu siangnya ia bekerja. Disini, hal itu tidak berlaku. Kemudian aku berpikir, "kenapa?". Kenapa mereka tidak melihat niat sekecil apapun itu, lebih baik mengaji meski ngantuk kan dibandingkan nggak ngaji sama sekali?

Tapi ternyata ini benang kusut.

Siapa yang tidak mau mengerti? Apakah mereka terhadap orang yang ngantuk? Atau aku terhadap mereka?

Kenapa aku tidak melihat niat sekecil apapun itu, ngaji ini hanya dua jam dibandingkan kerja delapan jam, kenapa masih ngantuk? Kenapa nggak mempersungguh?

Jadi, aku atau mereka? Atau kami?