Jojon : Relokasi PKL cuma Pencitraan Walikota Bandung

By feran.lestari - June 19, 2014

Jojon (29), Pedagang Kaki Lima (PKL) terelokasi, mengungkapkan bahwa uang yang susah payah ia tabung sejak lama nyaris habis akibat defisit yang dideritanya sejak relokasi PKL ke dalam Gedung Bandung Indah Plaza. Pendapatannya kini hanya berkisar Rp.50000 per hari. Padahal, ia masih harus menanggung hidup istri, adik, serta kedua anaknya yang masih membutuhkan susu dan pendidikan.
Pemerintah Kota Bandung dianggap tidak berpihak kepada rakyat kecil. Relokasi dinilai tidak sesuai dan justru membuat hidup mereka semakin terpuruk. Inilah yang dirasakan Jojon (29), salah satu Pedagang Kaki Lima (PKL) yang direlokasi akibat berjualan di pelataran Bandung Indah Plaza.
Sejak awal Februari lalu, Jojon dipindah melalui proses relokasi PKL tahap dua. Jojon mengaku terpaksa rela direlokasi sebab tidak mampu melawan kebijakan Pemerintah Kota. Menurutnya, Pemerintah Kota masih belum adil dalam hal pemerataan relokasi PKL. “Cuma yang jualan aksesoris aja. Padahal masih banyak yang jualan makanan yang pakai gerobak sama jualan hewan peliharaan depan BIP, tapi nggak direlokasi”, ungkapya.
Di temani ribuan mobil yang terparkir, kini Jojon berjualan aksesoris telepon genggam di tengah suasana panas dan pengap tanpa kipas angin, di kawasan Basemen BIP. Tak banyak pengunjung lalu-lalang berkeliaran di Basemen untuk sekedar melihat-lihat barang dagangan para PKL tersebut.
Jojon mengaku omset penjualannya turun hingga 90% sejak pindah ke Basemen BIP. Ditambah lagi ia harus membayar uang sewa sebesar Rp.1500000/m2 per bulan kepada pihak koperasi. Namun saat dikonfirmasi siapa pihak koperasi yang dimaksud, Jojon sendiri mengaku tidak tahu-menahu perihal detail koperasi yang dimaksud. Ia sendiri belum pernah membayar secara langsung kepada pihak koperasi. Uang sewa selama dua bulan pertama telah dipinjami oleh BPR sebesar Rp.3000000. untuk itu, ia harus menyicil sebesar Rp.5000/bulan selama tiga tahun.
Meski uang sewa yang dibayarkan tak sedikit, fasilitas yang ia terima jauh dari cukup untuk membuka lapak kaki lima. Jojon hanya diberi satu lemari kayu kecil serta lapak seluas 1 m2. Ironisnya, aturan membuka lapak yang diterapkan mengharuskan PKL untuk menggunakan tempat pajangan berbahan kaca, tidak boleh berbahan triplek. Akibatnya, Jojon harus merogoh kocek lebih dalam dari uang pribadi miliknya, sekedar untuk memenuhi aturan yang ada, bila tak ingin ditegur oleh pihak berwenang.
Jojon menjelaskan bahwa ia tidak mempermasalahkan proses relokasi PKL, hanya saja, ia meminta diberikan tempat yang lebih layak daripada hanya sekedar basemen. Jika diperkenankan, Jojon sangat ingin berjualan di lantai 3 Gedung Bandung Indah Plaza yang menurutnya masih cukup kosong dan dapat ia tempati bersama PKL lainnya. Namun, ia juga mengerti bahwa rakyat kecil seperti dirinya tidak akan sanggup membayar sewa sebesar Rp.5000000/m2 demi berjualan di tempat tersebut. Paling tidak, Jojon menginginkan adanya penataan tempat bagi para PKL untuk berjualan di dalam Gedung Bandung Indah Plaza di bagian yang ramai.
Ketika disinggung mengenai kondisi keuangannya saat ini, Jojon, yang ditemui di lapak miliknya pada Senin (24/2) kemarin, mengaku mengalami defisit besar-besaran. “Kalau secara fisik ya untung, kan nggak kehujanan dan nggak kepanasan. Tapi kalau dari segi pendapatan ya kurang. Habis malah. Uang hasil jualan nggak seberapa, habis buat makan, gimana mau nabung. Yang ada tabungan saya sejak dulu habis buat keperluan ini itu. Sekarang aja sering nganjuk ke warung”, ungkapnya.
Jojon hanya diperkenankan berjualan pada jam-jam yang sesuai dengan kegiatan operasional BIP, yakni sejak pukul 10.00 - 22.00 WIB. Meski begitu, akibat tempat yang tidak strategis, Jojon hanya mampu meraup penghasilan sekitar Rp.50000 dengan untung sebesar Rp.10000 per harinya. Padahal, ia masih harus menanggung hidup istri, adik, serta kedua anaknya yang masih membutuhkan susu dan pendidikan.
Kini, ia dan para PKL lainnya berada di zona abu-abu. Bila ia nekat kembali berjualan di zona terlarang, hanya akan mengundang datangnya Satpol PP dan pasukan bermotor. Namun, dengan kondisi seperti ini, ia tak yakin sanggup bertahan memenuhi kebutuhkan hidup keluarganya.
Jojon mengungkapkan bahwa Pemerintah Kota tidak benar-benar berniat untuk membantu para PKL. Sejak proses peresmian relokasi PKL bersama Walikota Bandung, Pemerintah Kota tidak pernah lagi menengok keadaan para PKL ini. Ditambah lagi peranan pihak kepolisian. Jojon berkeluh bahwa saat ditangkap Satpol PP, dari selusin barang yang disita selama dua minggu, hanya enam buah saja yang dikembalikan kepadanya.
“Banyak yang nggak sesuai dengan kenyataan. Diberitakan kita bayar sejuta. Nyatanya kita harus bayar lebih, satu setengah juta. Banyak fakta yang direkayasa”, sesal Jojon. Jojon membeberkan bahwa apa yang para PKL rasakan sebenarnya tidak diberitakan dengan jujur, justru dimanipulasi.
Selain itu, Pemerintah Kota berjanji memberikan fasilitas yang layak. Nyatanya, sudah sejak sebulan lalu rencana pemasangan kipas angin tak kunjung direalisasikan. Permintaan pemindahan tempat relokasi pun tak diindahkan. “Katanya sama Pak Walikota mau dibilangin. Tapi tiba-tiba katanya nggak boleh. Nggak tahu juga bener dibilangin sama Pak Walikota apa nggak”, jelas Jojon.
Menurut Jojon, relokasi PKL di Kota Bandung tak lebih hanya sekedar pencitraan Walikota Bandung belaka. Faktanya, Pemerintah Kota Bandung tidak sepenuhnya pro terhadap keadaan para PKL.
Jojon cukup mengerti persoalan politik yang sangat mementingkan figure dan citra seorang politikus, karena anggota keluarganya dulu ada yang menjadi lurah. Ia juga paham betul bahwa rakyat menengah ke bawah seperti dirinya selalu kena getah. Baginya, hukum di negara ini hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas.

  • Share:

You Might Also Like

0 comments