Jojon
(29), Pedagang Kaki Lima (PKL) terelokasi, mengungkapkan bahwa uang yang susah
payah ia tabung sejak lama nyaris habis akibat defisit yang dideritanya sejak
relokasi PKL ke dalam Gedung Bandung Indah Plaza. Pendapatannya kini hanya
berkisar Rp.50000 per hari. Padahal, ia masih harus menanggung hidup istri,
adik, serta kedua anaknya yang masih membutuhkan susu dan pendidikan.
Pemerintah Kota Bandung dianggap tidak berpihak kepada
rakyat kecil. Relokasi dinilai tidak sesuai dan justru membuat hidup mereka
semakin terpuruk. Inilah yang dirasakan Jojon (29), salah satu Pedagang Kaki
Lima (PKL) yang direlokasi akibat berjualan di pelataran Bandung Indah Plaza.
Sejak awal Februari lalu, Jojon dipindah melalui proses
relokasi PKL tahap dua. Jojon mengaku terpaksa rela direlokasi sebab tidak
mampu melawan kebijakan Pemerintah Kota. Menurutnya, Pemerintah Kota masih
belum adil dalam hal pemerataan relokasi PKL. “Cuma yang jualan aksesoris aja.
Padahal masih banyak yang jualan makanan yang pakai gerobak sama jualan hewan
peliharaan depan BIP, tapi nggak direlokasi”, ungkapya.
Di temani ribuan mobil yang terparkir, kini Jojon
berjualan aksesoris telepon genggam di tengah suasana panas dan pengap tanpa
kipas angin, di kawasan Basemen BIP. Tak banyak pengunjung lalu-lalang
berkeliaran di Basemen untuk sekedar melihat-lihat barang dagangan para PKL
tersebut.
Jojon mengaku omset penjualannya turun hingga 90%
sejak pindah ke Basemen BIP. Ditambah lagi ia harus membayar uang sewa sebesar
Rp.1500000/m2 per bulan kepada pihak koperasi. Namun saat
dikonfirmasi siapa pihak koperasi yang dimaksud, Jojon sendiri mengaku tidak tahu-menahu
perihal detail koperasi yang dimaksud. Ia sendiri belum pernah membayar secara
langsung kepada pihak koperasi. Uang sewa selama dua bulan pertama telah
dipinjami oleh BPR sebesar Rp.3000000. untuk itu, ia harus menyicil sebesar
Rp.5000/bulan selama tiga tahun.
Meski uang sewa yang dibayarkan tak sedikit, fasilitas
yang ia terima jauh dari cukup untuk membuka lapak kaki lima. Jojon hanya
diberi satu lemari kayu kecil serta lapak seluas 1 m2. Ironisnya,
aturan membuka lapak yang diterapkan mengharuskan PKL untuk menggunakan tempat
pajangan berbahan kaca, tidak boleh berbahan triplek. Akibatnya, Jojon harus
merogoh kocek lebih dalam dari uang pribadi miliknya, sekedar untuk memenuhi
aturan yang ada, bila tak ingin ditegur oleh pihak berwenang.
Jojon menjelaskan bahwa ia tidak mempermasalahkan
proses relokasi PKL, hanya saja, ia meminta diberikan tempat yang lebih layak
daripada hanya sekedar basemen. Jika diperkenankan, Jojon sangat ingin
berjualan di lantai 3 Gedung Bandung Indah Plaza yang menurutnya masih cukup
kosong dan dapat ia tempati bersama PKL lainnya. Namun, ia juga mengerti bahwa
rakyat kecil seperti dirinya tidak akan sanggup membayar sewa sebesar
Rp.5000000/m2 demi berjualan di tempat tersebut. Paling tidak, Jojon
menginginkan adanya penataan tempat bagi para PKL untuk berjualan di dalam
Gedung Bandung Indah Plaza di bagian yang ramai.
Ketika disinggung mengenai kondisi keuangannya saat
ini, Jojon, yang ditemui di lapak miliknya pada Senin (24/2) kemarin, mengaku
mengalami defisit besar-besaran. “Kalau secara fisik ya untung, kan nggak
kehujanan dan nggak kepanasan. Tapi kalau dari segi pendapatan ya kurang. Habis
malah. Uang hasil jualan nggak seberapa, habis buat makan, gimana mau nabung.
Yang ada tabungan saya sejak dulu habis buat keperluan ini itu. Sekarang aja
sering nganjuk ke warung”, ungkapnya.
Jojon hanya diperkenankan berjualan pada jam-jam yang
sesuai dengan kegiatan operasional BIP, yakni sejak pukul 10.00 - 22.00 WIB.
Meski begitu, akibat tempat yang tidak strategis, Jojon hanya mampu meraup
penghasilan sekitar Rp.50000 dengan untung sebesar Rp.10000 per harinya.
Padahal, ia masih harus menanggung hidup istri, adik, serta kedua anaknya yang
masih membutuhkan susu dan pendidikan.
Kini, ia dan para PKL lainnya berada di zona abu-abu.
Bila ia nekat kembali berjualan di zona terlarang, hanya akan mengundang
datangnya Satpol PP dan pasukan bermotor. Namun, dengan kondisi seperti ini, ia
tak yakin sanggup bertahan memenuhi kebutuhkan hidup keluarganya.
Jojon mengungkapkan bahwa Pemerintah Kota tidak
benar-benar berniat untuk membantu para PKL. Sejak proses peresmian relokasi
PKL bersama Walikota Bandung, Pemerintah Kota tidak pernah lagi menengok
keadaan para PKL ini. Ditambah lagi peranan pihak kepolisian. Jojon berkeluh
bahwa saat ditangkap Satpol PP, dari selusin barang yang disita selama dua
minggu, hanya enam buah saja yang dikembalikan kepadanya.
“Banyak yang nggak sesuai dengan kenyataan.
Diberitakan kita bayar sejuta. Nyatanya kita harus bayar lebih, satu setengah
juta. Banyak fakta yang direkayasa”, sesal Jojon. Jojon membeberkan bahwa apa
yang para PKL rasakan sebenarnya tidak diberitakan dengan jujur, justru
dimanipulasi.
Selain itu, Pemerintah Kota berjanji memberikan
fasilitas yang layak. Nyatanya, sudah sejak sebulan lalu rencana pemasangan
kipas angin tak kunjung direalisasikan. Permintaan pemindahan tempat relokasi
pun tak diindahkan. “Katanya sama Pak Walikota mau dibilangin. Tapi tiba-tiba
katanya nggak boleh. Nggak tahu juga bener dibilangin sama Pak Walikota apa
nggak”, jelas Jojon.
Menurut Jojon, relokasi PKL di Kota Bandung tak lebih
hanya sekedar pencitraan Walikota Bandung belaka. Faktanya, Pemerintah Kota
Bandung tidak sepenuhnya pro terhadap keadaan para PKL.
Jojon cukup mengerti persoalan politik yang sangat
mementingkan figure dan citra seorang politikus, karena anggota keluarganya
dulu ada yang menjadi lurah. Ia juga paham betul bahwa rakyat menengah ke bawah
seperti dirinya selalu kena getah. Baginya, hukum di negara ini hanya tajam ke
bawah dan tumpul ke atas.
0 comments