Seringkali aku berpikir terlalu jauh tentang manusia. Menerka-nerka perasaan orang lain. Tapi juga tidak berani bertanya untuk mengonfirmasi.
Apalagi tentang whatsapp. Begitu banyak pertanyaan di kepala.
Kenapa mematikan last seen dan read receipt? Apa yang aku hindari? Apa yang orang lain hindari?
Sebelum ada fitur seperti itu, manusia baik-baik saja dengan sistem komunikasi seperti SMS, atau bahkan surat. Ketika SMSku tidak dibalas, aku tidak berpikir ia menghindariku. I don't feel ignored.
Teknologi memang dua mata pisau. Jadilah ia juga memunculkan prasangka-prasangka.
Kenapa pesanku tak berbalas? Kenapa pesanku tak dibaca? Kenapa pesanku dihindari?
Aku paham betul setiap insan butuh privasi dan butuh waktu sendiri. Hanya saja, juga sudah naturenya kepentingan antar manusia itu bergesekan. Jadilah bisa menimbulkan suara atau api.
Aku tahu menerka-nerka itu tidak selalu baik. Ada insecurity dan trust yang dipertaruhkan di dalamnya. Pun manusia bukan Tuhan yang mampu tahu isi pikiran/hati manusia lainnya.
Kita hanya takut bertanya lebih jauh, karena juga takut jawaban yang keluar akan berbalik menyakiti diri sendiri.
Kemarin, aku mencetak rekor baru dengan mencapai level 400
di game Candy Crush Saga! Wow, tidak menyangka!
Ya walaupun temanku sudah di level ribuan, dan bahkan kakakku
selalu mentok sampai-sampai next levelnya bahkan belum ada 😅 I don’t mind,
main game bagiku sekarang adalah killing the time dan perihal entertaining.
Dulu, karena teman dan kakakku itu, aku selalu menganggap
Candy Crush Saga adalah permainan mikir yang butuh keahlian khusus. Maklum,
dulu mentok terus, susah naik levelnya. Sampe dikasihanin sama developernya, baru
deh naik level haha.
Sekarang, karena mainnya nggak pake mikir berat, alias nothing to loose, malah mulus-mulus aja. Nggak mudah, tapi selow aja gitu. Jadi lebih menikmati permainan (udah kayak pemain badminton aja ini haha).
Di sisi lain, dua hari ini, teman-teman kantorku sedang giat berlatih typing 10 jari. Poin mereka selalu meningkat, karena terus-terusan berlatih. Aku? Karena memang tidak berlatih serius, ya progressku sangat lambat hehe.
Di sisi lain, dua hari ini, teman-teman kantorku sedang giat berlatih typing 10 jari. Poin mereka selalu meningkat, karena terus-terusan berlatih. Aku? Karena memang tidak berlatih serius, ya progressku sangat lambat hehe.
Saat kugoda temanku karena progressnya cukup pesat, dia bilang "Bisa Fer, ini aku dari kemarin nggak berenti, hajar terus, jadinya jarinya masih inget".
Dari kedua pengalaman itu, kesimpulannya adalah : bisa karena biasa, bisa karena diusahakan, dan bisa karena menikmati perjuangannya. Makanya ada istilah "Witing Tresno Jalaran Soko Kulino" hahaha.
Selalu sebel kalau sholat berjamaah, terus imamnya cepet banget gerakannya, kayak nggak selesai baca doanya. Entah nggak selesai atau bacanya memang secepat kilat.
Jadi, apa gunanya sholat, kalau cuma buat gugurin kewajiban?
I know bakal dibilang so suci banget gara-gara ngomong gini. Bodo amat! Ku sudah mencoba baca Alfatihah dan surat Albaqoroh cuma ayat 1 doang, masih nggak keburu itu gerakan imam!
What's the point of having meet with your God, then? Bayangin lo ketemu temen lo, terus dia nyerocos kasih info secepat kilat, cuma biar info itu nyampe ke lo, tapi lo ga paham maknanya.
Well, perumpamaan yang tidak semestinya sih, karena memang bukan Allah yang butuh kita.
Tahu kan ya, sholat itu tiang agama? Hal pertama yang akan dihisab di hari kiamat nanti? Kalau tahu, kenapa masih nggak mikir?
In case sholat berjamaah ya, itu dosanya jadi dosa imam loh (mangga dikaji haditsnya). Makmumnya mah auto dapet 25 derajat pahala!
In case sholat sendiri, kalau khusyuk itu pahalanya 1. Ngalamin kan kalau sholat itu suka tiba-tiba inget sesuatu. Barang lupa naroh, tiba-tiba inget ada di mana. Tiba-tiba inget belum matiin kompor. Ya gitu lah. Itu tuh kerjaannya syetan. Udah mah gitu, masih ditambah gerakannya nggak tumaninah, terus sampeyan mau pahala 1? Mimpi kali!
What's the point of having meet with your God, then? Bayangin lo ketemu temen lo, terus dia nyerocos kasih info secepat kilat, cuma biar info itu nyampe ke lo, tapi lo ga paham maknanya.
Well, perumpamaan yang tidak semestinya sih, karena memang bukan Allah yang butuh kita.
Tahu kan ya, sholat itu tiang agama? Hal pertama yang akan dihisab di hari kiamat nanti? Kalau tahu, kenapa masih nggak mikir?
In case sholat berjamaah ya, itu dosanya jadi dosa imam loh (mangga dikaji haditsnya). Makmumnya mah auto dapet 25 derajat pahala!
In case sholat sendiri, kalau khusyuk itu pahalanya 1. Ngalamin kan kalau sholat itu suka tiba-tiba inget sesuatu. Barang lupa naroh, tiba-tiba inget ada di mana. Tiba-tiba inget belum matiin kompor. Ya gitu lah. Itu tuh kerjaannya syetan. Udah mah gitu, masih ditambah gerakannya nggak tumaninah, terus sampeyan mau pahala 1? Mimpi kali!
Di pemikiranku yang dangkal ini, hidup ini layaknya kita main game. Banyak banyakan numpuk poin pahala terus ntar dibandingin jumlahnya sama tumpukan dosa.
Dosa kita nih banyak Bro, Sist. Coba aja lo itung tiap hari ngapain aja. Lah, kalau sholat nggak khusyuk, cuma asal setor doang, kan hitungannya kita nggak dapet dosa meninggalkan sholat, tapi nggak ada pahala sholatnya juga.
Kalo mau ngandelin amalan lain, ya bayangin aja, yang pokok plus utama dan paling wajib aja nggak bisa tertib, terus ngarepin amalan yang lain? Mimpi kali!
Jadi, apa gunanya sholat, kalau cuma buat gugurin kewajiban?
Selalu lupa rasanya sakit
Kalau sudah sembuh
Selalu lupa rasanya dingin
Kalau sudah panas
Selalu lupa rasanya ringan
Kalau sudah berat
Selalu lupa rasanya bahagia
Kalau sudah sedih
Selalu lupa rasanya bersyukur
Kalau sudah tamak
Selalu lupa rasanya tahu
Kalau sudah lupa
Selalu lupa rasanya diindahkan
Kalau sudah diabaikan
Selalu lupa rasanya cinta
Kalau sudah bosan
Selalu lupa rasanya enak
Kalau sudah pahit
Selalu lupa rasanya lapar
Kalau sudah kenyang
Selalu lupa rasanya kencang
Kalau sudah longgar
Selalu lupa rasanya asing
Kalau sudah akrab
Selalu lupa rasanya lebih
Kalau sudah kurang
Selalu lupa rasanya pindah
Kalau sudah tetap
Akan lupa rasanya hidup
Kalau sudah mati
Kalau sudah sembuh
Selalu lupa rasanya dingin
Kalau sudah panas
Selalu lupa rasanya ringan
Kalau sudah berat
Selalu lupa rasanya bahagia
Kalau sudah sedih
Selalu lupa rasanya bersyukur
Kalau sudah tamak
Selalu lupa rasanya tahu
Kalau sudah lupa
Selalu lupa rasanya diindahkan
Kalau sudah diabaikan
Selalu lupa rasanya cinta
Kalau sudah bosan
Selalu lupa rasanya enak
Kalau sudah pahit
Selalu lupa rasanya lapar
Kalau sudah kenyang
Selalu lupa rasanya kencang
Kalau sudah longgar
Selalu lupa rasanya asing
Kalau sudah akrab
Selalu lupa rasanya lebih
Kalau sudah kurang
Selalu lupa rasanya pindah
Kalau sudah tetap
Akan lupa rasanya hidup
Kalau sudah mati
Bagi
umat Muslim, tentu sangat umum memilih nama dari Bahasa Arab, terlebih
nama-nama Rasul/Malaikat maupun Asmaul Husna. Mengapa? Ya tentu karena arti kata Bahasa
Arab serta kisah para nabi yang sungguh sarat makna religius.
Nama
adalah doa. Tentu.
Tapi, jangan keliru mengambil kata. Bahasa Arab, layaknya bahasa-bahasa lain di dunia
ini, tidak hanya terdiri dari kata-kata baik, tapi juga kata-kata yang maknanya
cenderung negatif.
Terlebih dalam Bahasa Arab, perbedaan huruf akan
menghasilkan makna yang berbeda. Qalbun dan kalbun adalah dua entitas yang
berbeda. Selalu cek makna kata sebelum mengesahkannya sebagai nama.
Jangan keliru memilih nama dari riwayat kisah perjuangan Islam masa lalu. Sudah umum para orangtua memilih nama Muhammad atau Ahmad yang diambil dari nama Rasulullah SAW. Tentu harapan para orangtua ini agar anaknya memiliki perangai layaknya Rasulullah SAW.
Tapi, bagaimanakah jika ada orangtua yang kurang menggali lebih dalam sehingga menamai anaknya dengan nama Lahab, mentang-mentang ada surat Al Lahab di Alquran?
Setelah memilih nama yang baik dan sarat makna, hal yang perlu diperhatikan adalah perihal penyebutan. Sudah sangat lazim dalam pergaulan masa kini, anak-anak ataupun remaja saling mengejek, meski masih dalam batas koridor yang wajar. Tapi, apakah sudah benar wajar?
"Si XX geblek, anjir". Hanya sebagian kecil dari omongan masa kini para millenial. Kalau XX memiliki nama yang kebetulan adalah nama Nabi, terlebih jika namanya diambil dari Asmaul Husna, secara tidak langsung, pembicara telah memaki kepada nabi atau Allah!
Berlebihan? Itulah konsekuensi memilih nama yang baik. Maka sebutlah dengan cara yang baik pula.
Satu-satunya cara terhindar dari konsekuensi tersebut, adalah dengan tidak memilih nama-nama Asmaul Husna, para Rasul/Malaikat, ataupun shahabat nabi. Masih banyak kata-kata lain yang pantas dan bermakna bagus untuk dijadikan sebuah nama. Silakan pikirkan masak-masak sebelum memberi nama.
Nama adalah doa, maka pilihlah dan sebutlah doa itu dengan baik.