Tema : Bebas
8 Desember 2019
Ketika itu aku sedang di angkot M15 menuju stasiun Tanjung Priok. Setelah aku naik, ada seorang penumpang yang turun tak jadi melanjutkan perjalanan. Barangnya banyak sekali.
Di sampingku ada seorang mbak, duduknya miring ngabisin tempat. Cukup membuatku sebal. Karena panas, aku bergeser duduk mendekati jendela yang terbuka, eh Si Mbak ngikut bae. Tambah emosi. Emang nggak bisa dikasih panas, jadi mudah tersulut emosi.
Kemudian, nggak lama Si Mbak nanya "kalau XX (nama tempat) masih jauh nggak ya?". Disitu diriku langsung jleb. Everything makes sense. Ternyata Si Mbak ikut-ikut bergeser tempat duduk karena mau mendekati Pak Supir, sebab Si Mbak nggak hapal jalan. What a jerk I am!
Beberapa menit berlalu setelah kujawab kurang lebih "Kurang tahu ya Mbak". Karena Mbaknya diam saja, dan diriku merasa bersalah, aku tanyakanlah ke Pak Supir, "Pak XX masih jauh nggak ya?"
Jeng jeng jeng, ternyata udah kelewat!
Si Mbak langsung tancap gas "Gimana sih Pak, saya kan udah bilang dari tadi. Marah marah aja sih dari tadi" (fyi, memang Pak Supir sempat marah-marah sih) sambil marah-marah. Si Mbak kemudian turun dan memberikan ongkos angkot dengan gestur sangat marahnya. Setelah itu pun Si Mbak masih jalan kaki dengan mode marah-marah mengumpat Pak Supir.
Pak Supir juga tak mau disalahkan dengan berdalih "Saya kira yang mau ke XX itu yang tadi turun (yang banyak bawaannya tadi itu loh)". Berkali-kali Pak Supir berkata demikian, meski Si Mbak sudah turun dari tadi.
Drama Minggu siang hari. Cukup konyol dan kekanak-kanakan.
***
Saat itu, aku berpikir "apaan sih, masalah sepele doang. Mbaknya juga salah dari tadi nggak ngingetin Pak Supir. Pak Supir juga bukannya nanya kalau memang ingat".
Pop!
Kemudian ia datang!
Penerangan itu!
Kasus pertama, aku sebagai pelaku yang tak peduli orang lain, akhirnya baru menyadari Si Mbak hanya sedang berusaha di tengah ketidaktahuannya.
Kasus selanjutnya, aku sebagai pengamat yang bisa dikatakan tak ikut andil. Hanya melihat, dan kupikir aku mampu melihat dengan lebih tenang dan berpikir jernih, atau setidaknya tidak emosi.
Otakku bekerja cepat, teringat scene di anime Haikyuu, ketika pertukaran pemain Sugawara IN Kageyama OUT. Sugawara bisa mengemukakan strateginya yang terbukti efektif, karena sebelumnya, ia hanya pemain cadangan dan bisa melihat jalannya pertandingan dengan lebih bijak serta menganalisis kelemahan lawan hingga akhirnya menemukan celah untuk mampu menghasilkan poin.
Well, saat itu aku betul-betul menyadari bahwa kita bisa lebih berpikir logis dan melihat secara objektif ketika tidak melibatkan perasaan terlalu dalam. Entah itu karena tidak terlibat langsung, atau memang sudah dalam tahap bisa mengontrol emosi.
Hari ini pun, argumen itu diperkuat dengan membaca statement "Ketika jatuh cinta, seringkali kita dibutakan karena terlalu sayang sama orang. Itulah gunanya curhat sama temen deket, karena dia tetep waras dan berpikir logis" (sumber : @radenrauf twitter).
Manusia memang tempatnya salah dan medan perang antara perasaan dan akal. Semoga diri ini dikuatkan untuk selalu bisa menyeimbangkan keduanya.
8 Desember 2019
Ketika itu aku sedang di angkot M15 menuju stasiun Tanjung Priok. Setelah aku naik, ada seorang penumpang yang turun tak jadi melanjutkan perjalanan. Barangnya banyak sekali.
Di sampingku ada seorang mbak, duduknya miring ngabisin tempat. Cukup membuatku sebal. Karena panas, aku bergeser duduk mendekati jendela yang terbuka, eh Si Mbak ngikut bae. Tambah emosi. Emang nggak bisa dikasih panas, jadi mudah tersulut emosi.
Kemudian, nggak lama Si Mbak nanya "kalau XX (nama tempat) masih jauh nggak ya?". Disitu diriku langsung jleb. Everything makes sense. Ternyata Si Mbak ikut-ikut bergeser tempat duduk karena mau mendekati Pak Supir, sebab Si Mbak nggak hapal jalan. What a jerk I am!
Beberapa menit berlalu setelah kujawab kurang lebih "Kurang tahu ya Mbak". Karena Mbaknya diam saja, dan diriku merasa bersalah, aku tanyakanlah ke Pak Supir, "Pak XX masih jauh nggak ya?"
Jeng jeng jeng, ternyata udah kelewat!
Si Mbak langsung tancap gas "Gimana sih Pak, saya kan udah bilang dari tadi. Marah marah aja sih dari tadi" (fyi, memang Pak Supir sempat marah-marah sih) sambil marah-marah. Si Mbak kemudian turun dan memberikan ongkos angkot dengan gestur sangat marahnya. Setelah itu pun Si Mbak masih jalan kaki dengan mode marah-marah mengumpat Pak Supir.
Pak Supir juga tak mau disalahkan dengan berdalih "Saya kira yang mau ke XX itu yang tadi turun (yang banyak bawaannya tadi itu loh)". Berkali-kali Pak Supir berkata demikian, meski Si Mbak sudah turun dari tadi.
Drama Minggu siang hari. Cukup konyol dan kekanak-kanakan.
***
Saat itu, aku berpikir "apaan sih, masalah sepele doang. Mbaknya juga salah dari tadi nggak ngingetin Pak Supir. Pak Supir juga bukannya nanya kalau memang ingat".
Pop!
Kemudian ia datang!
Penerangan itu!
Kasus pertama, aku sebagai pelaku yang tak peduli orang lain, akhirnya baru menyadari Si Mbak hanya sedang berusaha di tengah ketidaktahuannya.
Kasus selanjutnya, aku sebagai pengamat yang bisa dikatakan tak ikut andil. Hanya melihat, dan kupikir aku mampu melihat dengan lebih tenang dan berpikir jernih, atau setidaknya tidak emosi.
Otakku bekerja cepat, teringat scene di anime Haikyuu, ketika pertukaran pemain Sugawara IN Kageyama OUT. Sugawara bisa mengemukakan strateginya yang terbukti efektif, karena sebelumnya, ia hanya pemain cadangan dan bisa melihat jalannya pertandingan dengan lebih bijak serta menganalisis kelemahan lawan hingga akhirnya menemukan celah untuk mampu menghasilkan poin.
Well, saat itu aku betul-betul menyadari bahwa kita bisa lebih berpikir logis dan melihat secara objektif ketika tidak melibatkan perasaan terlalu dalam. Entah itu karena tidak terlibat langsung, atau memang sudah dalam tahap bisa mengontrol emosi.
Hari ini pun, argumen itu diperkuat dengan membaca statement "Ketika jatuh cinta, seringkali kita dibutakan karena terlalu sayang sama orang. Itulah gunanya curhat sama temen deket, karena dia tetep waras dan berpikir logis" (sumber : @radenrauf twitter).
Manusia memang tempatnya salah dan medan perang antara perasaan dan akal. Semoga diri ini dikuatkan untuk selalu bisa menyeimbangkan keduanya.
Setiap hari, rutinitas pagiku adalah bangun tidur, sholat subuh, mandi, kemudian menyetrika.
Untuk informasi, aku menyetrika pakaian setiap hari, malas sekali mencicil setrikaan di hari minggu. Tak apa, toh aku masih sendiri.
Ketika sedang menyetrika, hal paling menyenangkan adalah menemukan uang tertinggal di saku baju/celana. Serasa durian runtuh!
Pun hari ini, saku celanaku bergelombang ketika disetrika, aku sudah siap menemukan harta karun, walaupun hanya seribu!
Dengan sumringah kukeluarkan lembaran kertas kaku itu. Ketika kubuka, betul, hanya seribu rupiah! Tak hanya itu. Bola uang kertas itu memuat sesuatu di dalamnya.
Catatan hutangku senilai 1 juta rupiah. Seketika dunia serasa runtuh.
#100 kata
Keringatku sudah mengucur sedari tadi. Mulutku komat-kamit membaca doa apapun yang kuingat, meski tak tahu apa aku masih pantas meminta pada-Nya.
Tangannya sudah kuremas dari tadi.
"Sudahlah, kita kan sudah sepakat", akhirnya ia buka suara.
"Apanya yang sepakat? Ini keputusan kamu ya, bukan aku yang mau. Sejak kapan kamu dengerin pendapatku?"
"Terus kamu maunya gimana? Hah?"
Aku terdiam. Memang mau jawab apa? Aku sendiri pun bingung.
"Mbak Ela"
Aku berjalan tertatih menuju ruang laknat itu.
***
Setahun berlalu, ia masih datang ke mimpiku sembari bertanya "Kenapa Mama mengusirku? Aku ingin bertemu Mama setiap hari"
Calon anak pertamaku. Yang kubunuh.
#100kata
Tangannya sudah kuremas dari tadi.
"Sudahlah, kita kan sudah sepakat", akhirnya ia buka suara.
"Apanya yang sepakat? Ini keputusan kamu ya, bukan aku yang mau. Sejak kapan kamu dengerin pendapatku?"
"Terus kamu maunya gimana? Hah?"
Aku terdiam. Memang mau jawab apa? Aku sendiri pun bingung.
"Mbak Ela"
Aku berjalan tertatih menuju ruang laknat itu.
***
Setahun berlalu, ia masih datang ke mimpiku sembari bertanya "Kenapa Mama mengusirku? Aku ingin bertemu Mama setiap hari"
Calon anak pertamaku. Yang kubunuh.
#100kata
Tema : bebas
Hari ini aku tetiba iseng banget kepoin IGnya req.storychat. Entah, penasaran aja gitu.
Kemudian jadi menemukan suatu pola. Tipe ceweknya minta diperhatiin. Cowoknya galak-galak gitu, tapi ujung ujungnya ternyata care. Ini kasusnya, di awal si cowok rada jutek bales chatnya. Tahunya di akhir, dia ngasih kejutan ke pasangannya.
Yang cukup parah menurutku, bagian cowok yang jutek, terus ceweknya udah sampe state 'yaudah lah'. Terus tiba tiba cowoknya baik, ternyata dia lagi nyiapin sesuatu, mau ngelamar.
Well, diriku mungkin akan suka model cerita kayak begitu, beberapa bulan lalu, saat keranjingan baca fanfiction. Tapi tahu nggak, apa yang pertama kali aku pikirkan saat ini setelah kepo?
"Terus, apa bedanya ini sama kasus prank ojol?"
"Atau ini yang disebut tsundere? Ah, tapi masa iya?"
Terlepas dari gaya pacaran masing-masing pasangan, buatku ini aneh. Mungkin juga karena aku belum pernah berada dalam suatu hubungan itu ya.
Kenapa harus main rahasia-rahasiaan sih? Namanya hubungan terbuka aja kali, emang gabisa ya? Kalau masalah ingin ngasih surprise, emang harus banget pake galak-galak dulu di awal? Beneran deh, udah kayak prank ojol.
Kenapa harus menyakiti dulu sebelum membahagiakan? (Beda kasus loh ya kalau memang ada masalah dari kedua belah pihak). Hati manusia itu nggak sesederhana puzzle, yang pas lepas 1 piece, dengan mudahnya bisa ditempel lagi. Jangan menyepelekan hati orang lain. Dikira mainan apa? Kalau rusak bisa beli lagi di toko?
Mungkin pemikiranku ini cukup terbawa emosi. Semoga besok-besok tercerahkan.
Kemudian jadi menemukan suatu pola. Tipe ceweknya minta diperhatiin. Cowoknya galak-galak gitu, tapi ujung ujungnya ternyata care. Ini kasusnya, di awal si cowok rada jutek bales chatnya. Tahunya di akhir, dia ngasih kejutan ke pasangannya.
Yang cukup parah menurutku, bagian cowok yang jutek, terus ceweknya udah sampe state 'yaudah lah'. Terus tiba tiba cowoknya baik, ternyata dia lagi nyiapin sesuatu, mau ngelamar.
Well, diriku mungkin akan suka model cerita kayak begitu, beberapa bulan lalu, saat keranjingan baca fanfiction. Tapi tahu nggak, apa yang pertama kali aku pikirkan saat ini setelah kepo?
"Terus, apa bedanya ini sama kasus prank ojol?"
"Atau ini yang disebut tsundere? Ah, tapi masa iya?"
Terlepas dari gaya pacaran masing-masing pasangan, buatku ini aneh. Mungkin juga karena aku belum pernah berada dalam suatu hubungan itu ya.
Kenapa harus main rahasia-rahasiaan sih? Namanya hubungan terbuka aja kali, emang gabisa ya? Kalau masalah ingin ngasih surprise, emang harus banget pake galak-galak dulu di awal? Beneran deh, udah kayak prank ojol.
Kenapa harus menyakiti dulu sebelum membahagiakan? (Beda kasus loh ya kalau memang ada masalah dari kedua belah pihak). Hati manusia itu nggak sesederhana puzzle, yang pas lepas 1 piece, dengan mudahnya bisa ditempel lagi. Jangan menyepelekan hati orang lain. Dikira mainan apa? Kalau rusak bisa beli lagi di toko?
Mungkin pemikiranku ini cukup terbawa emosi. Semoga besok-besok tercerahkan.
"Rik, Romi di belakang kita tuh"
Rika langsung mengeluarkan cermin sakti dari tasnya. Motif polkadot berwarna merah muda, feminim sekali.
Bermotifkan ngaca, padahal mengamati gerak-gerik pujaan hatinya. Hanya melihat saja rasanya indah. Di awal.
Romi terlihat bosan, sedang menunggu.
Tak dinyana, ternyata Raisa, si kembang sekolah, yang datang. Keduanya asik bercengkrama. Mojok pula! Nyes rasanya.
Sudah tahu memilukan, tetap saja Rika mengamati keduanya dari cermin. Ibarat kata, menggarami luka sendiri.
Sepuluh menit berlalu, Raisa dan Romi masih sibuk dalam dunianya sendiri. Kemudian keduanya berpegangan tangan, dan melangkah menuju gerbang sekolah.
Memang benar kata pepatah, semua akan sakit pada waktunya.
#100kata
Rika langsung mengeluarkan cermin sakti dari tasnya. Motif polkadot berwarna merah muda, feminim sekali.
Bermotifkan ngaca, padahal mengamati gerak-gerik pujaan hatinya. Hanya melihat saja rasanya indah. Di awal.
Romi terlihat bosan, sedang menunggu.
Tak dinyana, ternyata Raisa, si kembang sekolah, yang datang. Keduanya asik bercengkrama. Mojok pula! Nyes rasanya.
Sudah tahu memilukan, tetap saja Rika mengamati keduanya dari cermin. Ibarat kata, menggarami luka sendiri.
Sepuluh menit berlalu, Raisa dan Romi masih sibuk dalam dunianya sendiri. Kemudian keduanya berpegangan tangan, dan melangkah menuju gerbang sekolah.
Memang benar kata pepatah, semua akan sakit pada waktunya.
#100kata
Rafi membuka pintu, hanya untuk bertemu sepi. Dilihatnya semua furnitur sudah tertata rapi.
Hanya satu yang membuatnya merengut. Cermin besar setinggi badannya, di samping TV.
Sepi dan cermin besar tentu bukan kombinasi yang bagus.
"Bagaimana kalau tengah malam nanti, aku ingin pipis, kemudian muncul kuntilanak dari cermin itu?"
"Bagaimana jika aku bercermin, tapi tak ada bayangan diriku?"
"Bagaimana jika aku bercermin, tapi bayanganku bergerak sendiri?"
"Bagaimana kalau bayanganku justru keluar dari cermin itu?"
"Bagaimana kalau sadako tiba-tiba keluar dari cermin itu?"
Mengerikan!
Rafi langsung memindahkan cermin itu ke kamar tamu. Di mana pun, selain tempat yang mudah terlihat olehnya.
#100kata