Yahaha, melihat-lihat lagi note facebook, terus 'menemukan kembali' note gaje yang saya bikin di angkot dan saya post di fb tanggal 3 Maret 2011. Cuma lucu aja gitu, kok bisa bikin puisi kayak begini wkwkwk
Apa yang salah denganku?
Adakah gaya luar yang mempengaruhiku?
Membuatku memiliki percepatan negatif
Hingga akhirnya kemampuanku pun berlimit
Otak liarku harusnya tak berhingga bukan?
Ya, harusnya otak liarku ini tak berhingga
Tak berujung
Aku benci ini semua
Aku rindu engkau,,
Hai otak superku
Aku sungguh sungguh tak butuh derivatif
Aku hanya butuh engkau,,
Hai integral kawan tercintaku
Yang aku butuhkan
Hai engkau tekanan pascalku,,
Karena aku,,
Sungguh ingin memancar
Ke segala arah
Sama besar
*dengan sedikiiiiit pengubahan tanda baca
Apa yang salah denganku?
Adakah gaya luar yang mempengaruhiku?
Membuatku memiliki percepatan negatif
Hingga akhirnya kemampuanku pun berlimit
Otak liarku harusnya tak berhingga bukan?
Ya, harusnya otak liarku ini tak berhingga
Tak berujung
Aku benci ini semua
Aku rindu engkau,,
Hai otak superku
Aku sungguh sungguh tak butuh derivatif
Aku hanya butuh engkau,,
Hai integral kawan tercintaku
Yang aku butuhkan
Hai engkau tekanan pascalku,,
Karena aku,,
Sungguh ingin memancar
Ke segala arah
Sama besar
*dengan sedikiiiiit pengubahan tanda baca
"Nilai UN SD dipakai untuk melanjutkan
SMP, UN SMP untuk ke SMA, mengapa SMA
tidak? Idenya kan itu," kata Nuh kepada
Kompas.com di Gedung Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan (Gedung
Kemdikbud), Jakarta, Jumat (30/12/2011)
Saya kaget. Jujur. Toh selama ini, saya sama sekali tidak bergantung pada nilai UN. Beneran. Masuk SMP, ada testing. Masuk SMA, ikut SERU3. Dan saya bangga, soalnya yaaaah, you know, banyak konspirasi di UN. Kontroversial pisan.
Saya aneh sama pemerintah. Mungkin pemikiran saya rada kolot. Saya akui. Tapi ini berdasar pengalaman saya dulu waktu SMP. Anak bandel yang jarang sekolah aja bisa dapet nilai NEM 38,xx. Kalo jadi syarat buat masuk PTN, gampang dong. Nggak usah sekolah, masuk aja pas UN, nilai NEM gede, masuk PTN favorit. Ckckck
Menurut saya, rencana menjadikan nilai UN sebagai patokan masuk PTN itu terlalu dini. Bukankah kita tahu, bagaimana bobroknya penyelenggaraan ujian nasional tersebut? Betapa banyaknya konspirasi di dalamnya? Betapa banyaknya ketidaktelitian pengawas yang memang disengaja itu?
Saya mengerti, perihal pemerintah yang tidak mungkin tidak meluluskan setengah pelajar Indonesia. Makanya soal UN terbilang cukup 'mudah' dibanding soal seleksi. Makanya banyak bocoran. Oke, apa jadinya jika setengah dari sekian juta pelajar tidak lulus? I see. Saya paham.
Tapi, tidakkah pemerintah justru memperhatikan bagian ini? Bahkan kami para siswa sudah teramat sangat memahaminya. Saya yakin pemerintah tahu, hanya saja pura-pura buta dan tidak ingin melihat realita.
Yah, pemerintah sih tidak diuntungkan, tidak dirugikan. Tapi bagi siswa yang belajar sungguh-sungguh, ini merugikan sekali. Mana mau disamakan sama anak bandel? Anak tukang bikin onar? Tapi dianggap sama hanya karena nilai UNnya sama atau bahkan si tukang bikin onar lebih gede nilainya. Kalo berdasar UN, siapa yang bakal masuk sekolah favorit? Ya si tukang bikin onar kan?
Menurut saya, seharusnya pemerintah jangan terburu-buru menetapkan UN sebagai prasyarat masuk PTN. Cobalah dulu perbaiki kualitas UN. Murid saja meragukan kredibilitas UN, bagaimana pihak universitas?
Perbaiki dulu mutu UN. Setelah memang bagus, barulah tetapkan UN sebagai prasyarat masuk PTN. Bagaimana caranya? Cobalah, yang jadi pengawas UN itu dari PTN, bukan dari sekolah. Dari PTN juga bukan mahasiswanya, tapi petinggi-petingginya.
Selain itu, cobalah, sebelum masuk itu, diperiksa dulu satu per satu peserta ujiannya. Cek, kalau-kalau ada contekan. Juga hp dikumpulkan depan kelas. Nggak boleh disilent. Harus normal. Bunyi juga gapapa. Daripada siswa pada nyontek lewat hp kan?
Yah, semoga saja Bapak Nuh dan bawahan-bawahannya lebih mengerti kami, para siswa. Lebih memahami kondisi yang terjadi di lapangan. Dan memikirkan kembali konsekuensi-konsekuensi yang akan timbul bila kebijakan ini tetap dijalankan. Semoga.
SMP, UN SMP untuk ke SMA, mengapa SMA
tidak? Idenya kan itu," kata Nuh kepada
Kompas.com di Gedung Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan (Gedung
Kemdikbud), Jakarta, Jumat (30/12/2011)
Saya kaget. Jujur. Toh selama ini, saya sama sekali tidak bergantung pada nilai UN. Beneran. Masuk SMP, ada testing. Masuk SMA, ikut SERU3. Dan saya bangga, soalnya yaaaah, you know, banyak konspirasi di UN. Kontroversial pisan.
Saya aneh sama pemerintah. Mungkin pemikiran saya rada kolot. Saya akui. Tapi ini berdasar pengalaman saya dulu waktu SMP. Anak bandel yang jarang sekolah aja bisa dapet nilai NEM 38,xx. Kalo jadi syarat buat masuk PTN, gampang dong. Nggak usah sekolah, masuk aja pas UN, nilai NEM gede, masuk PTN favorit. Ckckck
Menurut saya, rencana menjadikan nilai UN sebagai patokan masuk PTN itu terlalu dini. Bukankah kita tahu, bagaimana bobroknya penyelenggaraan ujian nasional tersebut? Betapa banyaknya konspirasi di dalamnya? Betapa banyaknya ketidaktelitian pengawas yang memang disengaja itu?
Saya mengerti, perihal pemerintah yang tidak mungkin tidak meluluskan setengah pelajar Indonesia. Makanya soal UN terbilang cukup 'mudah' dibanding soal seleksi. Makanya banyak bocoran. Oke, apa jadinya jika setengah dari sekian juta pelajar tidak lulus? I see. Saya paham.
Tapi, tidakkah pemerintah justru memperhatikan bagian ini? Bahkan kami para siswa sudah teramat sangat memahaminya. Saya yakin pemerintah tahu, hanya saja pura-pura buta dan tidak ingin melihat realita.
Yah, pemerintah sih tidak diuntungkan, tidak dirugikan. Tapi bagi siswa yang belajar sungguh-sungguh, ini merugikan sekali. Mana mau disamakan sama anak bandel? Anak tukang bikin onar? Tapi dianggap sama hanya karena nilai UNnya sama atau bahkan si tukang bikin onar lebih gede nilainya. Kalo berdasar UN, siapa yang bakal masuk sekolah favorit? Ya si tukang bikin onar kan?
Menurut saya, seharusnya pemerintah jangan terburu-buru menetapkan UN sebagai prasyarat masuk PTN. Cobalah dulu perbaiki kualitas UN. Murid saja meragukan kredibilitas UN, bagaimana pihak universitas?
Perbaiki dulu mutu UN. Setelah memang bagus, barulah tetapkan UN sebagai prasyarat masuk PTN. Bagaimana caranya? Cobalah, yang jadi pengawas UN itu dari PTN, bukan dari sekolah. Dari PTN juga bukan mahasiswanya, tapi petinggi-petingginya.
Selain itu, cobalah, sebelum masuk itu, diperiksa dulu satu per satu peserta ujiannya. Cek, kalau-kalau ada contekan. Juga hp dikumpulkan depan kelas. Nggak boleh disilent. Harus normal. Bunyi juga gapapa. Daripada siswa pada nyontek lewat hp kan?
Yah, semoga saja Bapak Nuh dan bawahan-bawahannya lebih mengerti kami, para siswa. Lebih memahami kondisi yang terjadi di lapangan. Dan memikirkan kembali konsekuensi-konsekuensi yang akan timbul bila kebijakan ini tetap dijalankan. Semoga.
Cogito ergo sum
Saya berpikir, maka saya sungguh-sungguh ada
Renè Descartes
Pelan-pelan, kuluruskan benang perasaan
Kemudian, kuselaraskan hati dan jiwa
Awalnya, kubentuk bulatan hati
Lama-lama, kurajut kehidupan
Tak terasa, kusulam mimpi-mimpi
Sungguh, aku larut dalam harmoni
Sungguh misteri, bagaimana jadinya ini?
Akankah rajutan ini rapi?
Sama tinggikah?
Apakah berlubang?
Atau justru berlebih?
Yang kupikirkan hanya satu,
Setiap baris yang kurajut
Setiap mimpi yang kusulam
Haruslah terbaik yang kumampu
Setidaknya, haruslah lebih baik
dari baris sebelumnya
dari mimpi-mimpi terdahulu
Terkadang, berpaling pada warna berkawan
Bukankah lebih indah?
Bukankah lebih padu?
Hmm, asyik, terlarut aku dibawanya
Kubawa teman bergabung bersama
Merajut dengan benang berbeda
Lebih asyik, lebih larut
Tapi hati bertanya-tanya
Sepanjang apa mampu kurajut?
Kemudian, kuselaraskan hati dan jiwa
Awalnya, kubentuk bulatan hati
Lama-lama, kurajut kehidupan
Tak terasa, kusulam mimpi-mimpi
Sungguh, aku larut dalam harmoni
Sungguh misteri, bagaimana jadinya ini?
Akankah rajutan ini rapi?
Sama tinggikah?
Apakah berlubang?
Atau justru berlebih?
Yang kupikirkan hanya satu,
Setiap baris yang kurajut
Setiap mimpi yang kusulam
Haruslah terbaik yang kumampu
Setidaknya, haruslah lebih baik
dari baris sebelumnya
dari mimpi-mimpi terdahulu
Terkadang, berpaling pada warna berkawan
Bukankah lebih indah?
Bukankah lebih padu?
Hmm, asyik, terlarut aku dibawanya
Kubawa teman bergabung bersama
Merajut dengan benang berbeda
Lebih asyik, lebih larut
Tapi hati bertanya-tanya
Sepanjang apa mampu kurajut?
Senandung indah,
Nyanyian sederhana,
Melodi yang bergoyang nan elok
Mengalun dengan gemulai
Hmm, enak nian di telinga ini
Menikmati tak sekedar mendengar
Mirip, tapi tak sama
Terus mengalun bergetar
Layaknya burung beterbangan di angkasa
Lahir dari jemari-jemari lihai
Lihatlah, betapa mengagumkannya
Candu dibuatnya aku
Sampai-sampai aku bermimpi
Adakah aku mampu mengalun?
Dengan jemariku?
Merdunya,
Meski aku tak mengerti
Walau aku tak sanggup mencerna
Tapi aku tahu, aku tersedot
Masuk ke lubang ini
Lubang penuh deretan angka
Lubang penuh bulatan berbendera
Padahal, adakah aku mengerti?
Kuakui, aku bukanlah ahlinya
Tak ada mampuku sama sekali
Tapi, bolehkah aku bercerita?
Betapa indahnya melodi itu?
Betapa menikmatinya aku?
Betapa aku berpikir
Bisakah kuhasilkan yang sama?
Jemariku, aku tahu, kita tak bisa
Otakku, aku tahu, kita sudah terlalu lelah
Egoku terlalu tinggi, kita sama-sama tahu
Biarkan kulepas satu mimpi
Tapi, kuminta, ayolah
Kita nikmati melodi ini bersama
Larut dalam dendangan senandung
Mendengarkan senandung bercerita
Nyanyian sederhana,
Melodi yang bergoyang nan elok
Mengalun dengan gemulai
Hmm, enak nian di telinga ini
Menikmati tak sekedar mendengar
Mirip, tapi tak sama
Terus mengalun bergetar
Layaknya burung beterbangan di angkasa
Lahir dari jemari-jemari lihai
Lihatlah, betapa mengagumkannya
Candu dibuatnya aku
Sampai-sampai aku bermimpi
Adakah aku mampu mengalun?
Dengan jemariku?
Merdunya,
Meski aku tak mengerti
Walau aku tak sanggup mencerna
Tapi aku tahu, aku tersedot
Masuk ke lubang ini
Lubang penuh deretan angka
Lubang penuh bulatan berbendera
Padahal, adakah aku mengerti?
Kuakui, aku bukanlah ahlinya
Tak ada mampuku sama sekali
Tapi, bolehkah aku bercerita?
Betapa indahnya melodi itu?
Betapa menikmatinya aku?
Betapa aku berpikir
Bisakah kuhasilkan yang sama?
Jemariku, aku tahu, kita tak bisa
Otakku, aku tahu, kita sudah terlalu lelah
Egoku terlalu tinggi, kita sama-sama tahu
Biarkan kulepas satu mimpi
Tapi, kuminta, ayolah
Kita nikmati melodi ini bersama
Larut dalam dendangan senandung
Mendengarkan senandung bercerita
Munafik kamu Fer, bilang nggak pengen padahal hati langsung nyantol pas liat. Munafik, tapi hati ini masih merah. Masih berusaha buat aku tambal. Walaupun ini udah hasil tambalan, kok terus-terusan bolong ya? Kenapa? Gara-gara nggak dirawat? Ataukah tambalannya yang nggak bener? Yang pasti, rasanya sakit, disini